sumber: http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/07/13/12533947/ISCO.Sekolah.Gratis..Tak.Perlu.Ada.Embel-embel..
ISCO: Sekolah Gratis, Tak Perlu Ada Embel-embel!
ISCO
Ilustrasi: Menggantung harapan pada sekolah gratis, anak-anak miskin juga boleh bercita-cita. Anak tukang becak ingin jadi dokter atau penyanyi, bahkan anak pemulung berhak menjadi guru. Sekolah gratis buat mereka adalah sepeser pun tak keluar uang, tahunya sekolah.
/
Artikel Terkait:
* Sekolah Gratis, Jawaban Mimpi Si Miskin
* PAUD, Si Miskin Juga Berhak Sekolah, Bung!
* Wah, 200.000 Anak Miskin Bakal Sekolah Gratis!
Senin, 13 Juli 2009 | 12:53 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Menggantung harapan pada sekolah gratis, anak-anak miskin juga boleh bercita-cita. Anak tukang becak ingin jadi dokter, pilot, atau penyanyi, bahkan anak pemulung berhak menjadi guru. Sekolah gratis buat mereka adalah sepeser pun tak keluar uang, tahunya belajar.
Farhan, anak tukang becak di Pademangan Barat, Jakarta Utara, misalnya. Siswa Kelas V SD 09 Pademangan Barat ini mengaku ingin jadi penyanyi.
"Biar bisa banggakan Bapak," ujarnya polos, sambil menulis cita-citanya di secarik kertas dan kemudian digantungnya di atas pohon, Sabtu (11/7).
Sejak di Taman Kanak-kanak, lanjut Farhan, ayah-ibunya tidak pernah keluar uang untuk sekolahnya. Bahkan, mimpi bisa sekolah pun tidak pernah muncul di mimpi Farhan, juga kedua oran tuanya.
"Bapak kan cuma tukang becak, kata Ibu uangnya cuma buat makan, tidak boleh buat sekolah," ujar Farhan.
Lain Farhan, lain pula kisah Ainun, siswi kelas 6 SD Rawa Badak Selatan 09 Pagi, Jakarta Utara. Anak buruh pelabuhan di Tanjung Priok ini mengaku bercita-cita ingin menjadi pelukis.
"Kalau di rumah hobiku menggambar, makanya aku mau jadi pelukis biar lukisannya bisa dijual," kisah putri ketiga pasangan Al Rasyid dan Semirah ini.
Tanpa Embel-embel
Selain Farhan dan Ainun, Romlah, siswi kelas 1 SD Rawa Badak Selatan, juga merupakan satu dari ribuan anak miskin yang punya cita-cita setinggi langit setelah bisa bersekolah dengan gratis.
Sejak di Taman Kanak-kanak (TK) sampai saat ini ditemui oleh Kompas.com, Sabtu (11/7) kemarin, ketiganya direkrut oleh Yayasan ISCO (Indonesian Street Children Organization), yang memberikan layanan sekolah gratis bagi anak-anak miskin di perkotaan di Jakarta, Medan dan Surabaya, untuk bersekolah sejak dari bangku TK.
"Kita tahu ada kebijakan sekolah gratis dari pemerintah, hanya saja kita juga tahu kalau itu tidak sepenuhnya gratis sebab masih ada biaya-biaya lain baik itu sumbangan atau pungutan-pungutan," ujar Ramida Siringo-ringo, Direktur Eksekutif ISCO.
Sekolah gratis, lanjut Ramida, mestinya tanpa embel-embel. Untuk itulah, kata dia, mulai uang pangkal, SPP, seragam, buku dan peralatan tulis, serta buku pelajaran, bahkan sampai perbaikan gizi mereka diberikan oleh yayasan nirlaba tersebut secara cuma-cuma.
Didirikan atas prakarsa Pascal Lalanne dan Josef Fuchs, --warga negara Austria, pada Mei 1999 lalu, ISCO memulai perekrutan anak-anak miskin kota tersebut di dua wilayah DKI Jakarta, yaitu Cipinang Besar Selatan dan Manggarai. Saat itu, ISCO baru memiliki 60 anak dampingan.
Kini, setelah 10 tahun berjalan, yayasan tersebut terhitung sudah membantu dana pendidikan bagi anak-anak miskin perkotaan di wilayah Jakarta, Depok, Surabaya dan Medan. Jumlah mereka pada tahun ajaran 2008-2009 sudah mencapai 1.725 anak dan akan menjadi 2.200 anak pada Juli 2009 ini.
"Kami hanya ingin memutus rantai kemiskinan dari orang tuanya dan berharap mereka tidak terjebak sebagai anak jalanan," tukas Ramida.
Di 26 area perekrutan, --17 di Jakarta, 7 di Surabaya, dan 2 di Medan, anak-anak tersebut kini bersekolah di sekolah-sekolah umum. Sepulang sekolah, mereka diberi pelajaran tambahan di Sanggar Kegiatan Anak (SKA) yang didampingi oleh para tutor sejak Senin hingga Jumat. Setiap hari Sabtu, anak-anak itu juga diberi tambahan gizi berupa bubur kacang hijau, vitamin, serta susu.
"Sebelumnya mereka tidak berani bilang punya cita-cita, jangankan punya, mimpi saja tidak," cerita Ramida.
"Sekarang, walaupun ada yang tinggal di pinggir rel kereta atau di gubuk-gubuk kumuh, orang tuanya cuma pemulung atau tukang becak, mereka sudah berani mengatakan cita-citanya. Saya mau jadi dokter, atau saya ingin jadi guru!" tandasnya.
LTF
ISCO: Sekolah Gratis, Tak Perlu Ada Embel-embel!
ISCO
Ilustrasi: Menggantung harapan pada sekolah gratis, anak-anak miskin juga boleh bercita-cita. Anak tukang becak ingin jadi dokter atau penyanyi, bahkan anak pemulung berhak menjadi guru. Sekolah gratis buat mereka adalah sepeser pun tak keluar uang, tahunya sekolah.
/
Artikel Terkait:
* Sekolah Gratis, Jawaban Mimpi Si Miskin
* PAUD, Si Miskin Juga Berhak Sekolah, Bung!
* Wah, 200.000 Anak Miskin Bakal Sekolah Gratis!
Senin, 13 Juli 2009 | 12:53 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Menggantung harapan pada sekolah gratis, anak-anak miskin juga boleh bercita-cita. Anak tukang becak ingin jadi dokter, pilot, atau penyanyi, bahkan anak pemulung berhak menjadi guru. Sekolah gratis buat mereka adalah sepeser pun tak keluar uang, tahunya belajar.
Farhan, anak tukang becak di Pademangan Barat, Jakarta Utara, misalnya. Siswa Kelas V SD 09 Pademangan Barat ini mengaku ingin jadi penyanyi.
"Biar bisa banggakan Bapak," ujarnya polos, sambil menulis cita-citanya di secarik kertas dan kemudian digantungnya di atas pohon, Sabtu (11/7).
Sejak di Taman Kanak-kanak, lanjut Farhan, ayah-ibunya tidak pernah keluar uang untuk sekolahnya. Bahkan, mimpi bisa sekolah pun tidak pernah muncul di mimpi Farhan, juga kedua oran tuanya.
"Bapak kan cuma tukang becak, kata Ibu uangnya cuma buat makan, tidak boleh buat sekolah," ujar Farhan.
Lain Farhan, lain pula kisah Ainun, siswi kelas 6 SD Rawa Badak Selatan 09 Pagi, Jakarta Utara. Anak buruh pelabuhan di Tanjung Priok ini mengaku bercita-cita ingin menjadi pelukis.
"Kalau di rumah hobiku menggambar, makanya aku mau jadi pelukis biar lukisannya bisa dijual," kisah putri ketiga pasangan Al Rasyid dan Semirah ini.
Tanpa Embel-embel
Selain Farhan dan Ainun, Romlah, siswi kelas 1 SD Rawa Badak Selatan, juga merupakan satu dari ribuan anak miskin yang punya cita-cita setinggi langit setelah bisa bersekolah dengan gratis.
Sejak di Taman Kanak-kanak (TK) sampai saat ini ditemui oleh Kompas.com, Sabtu (11/7) kemarin, ketiganya direkrut oleh Yayasan ISCO (Indonesian Street Children Organization), yang memberikan layanan sekolah gratis bagi anak-anak miskin di perkotaan di Jakarta, Medan dan Surabaya, untuk bersekolah sejak dari bangku TK.
"Kita tahu ada kebijakan sekolah gratis dari pemerintah, hanya saja kita juga tahu kalau itu tidak sepenuhnya gratis sebab masih ada biaya-biaya lain baik itu sumbangan atau pungutan-pungutan," ujar Ramida Siringo-ringo, Direktur Eksekutif ISCO.
Sekolah gratis, lanjut Ramida, mestinya tanpa embel-embel. Untuk itulah, kata dia, mulai uang pangkal, SPP, seragam, buku dan peralatan tulis, serta buku pelajaran, bahkan sampai perbaikan gizi mereka diberikan oleh yayasan nirlaba tersebut secara cuma-cuma.
Didirikan atas prakarsa Pascal Lalanne dan Josef Fuchs, --warga negara Austria, pada Mei 1999 lalu, ISCO memulai perekrutan anak-anak miskin kota tersebut di dua wilayah DKI Jakarta, yaitu Cipinang Besar Selatan dan Manggarai. Saat itu, ISCO baru memiliki 60 anak dampingan.
Kini, setelah 10 tahun berjalan, yayasan tersebut terhitung sudah membantu dana pendidikan bagi anak-anak miskin perkotaan di wilayah Jakarta, Depok, Surabaya dan Medan. Jumlah mereka pada tahun ajaran 2008-2009 sudah mencapai 1.725 anak dan akan menjadi 2.200 anak pada Juli 2009 ini.
"Kami hanya ingin memutus rantai kemiskinan dari orang tuanya dan berharap mereka tidak terjebak sebagai anak jalanan," tukas Ramida.
Di 26 area perekrutan, --17 di Jakarta, 7 di Surabaya, dan 2 di Medan, anak-anak tersebut kini bersekolah di sekolah-sekolah umum. Sepulang sekolah, mereka diberi pelajaran tambahan di Sanggar Kegiatan Anak (SKA) yang didampingi oleh para tutor sejak Senin hingga Jumat. Setiap hari Sabtu, anak-anak itu juga diberi tambahan gizi berupa bubur kacang hijau, vitamin, serta susu.
"Sebelumnya mereka tidak berani bilang punya cita-cita, jangankan punya, mimpi saja tidak," cerita Ramida.
"Sekarang, walaupun ada yang tinggal di pinggir rel kereta atau di gubuk-gubuk kumuh, orang tuanya cuma pemulung atau tukang becak, mereka sudah berani mengatakan cita-citanya. Saya mau jadi dokter, atau saya ingin jadi guru!" tandasnya.
LTF
Komentar