Hasil UN Abaikan Kerja Keras Anak
DHONI SETIAWAN/KOMPAS IMAGES
Secara sah keputusan MA harus diikuti, karena itu harus cepat diambil keputusan. Kalau tidak, kerugian akan berimbas pada anak didik.
Artikel Terkait:
* Wah, Ujian Nasional Bakal Diadakan Dua Kali
* Sedih Tiap Kali Teringat UN....
* Pemerintah Tetap Laksanakan Ujian Nasional
* Nuh: Perdebatan UN Tidak Akan Pernah Rampung
* DPD: Dateline Depdiknas Sampai Februari 2010
Kamis, 3 Desember 2009 | 19:38 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil ujian nasional sebagai syarat kelulusan mengabaikan potensi dan kerja keras anak selama belajar di sekolah. Kelulusan siswa hanya dilihat dari pencapaian kemampuan kognitif yang dilakukan sesaat daripada melihat keseluruhan proses belajar siswa di sekolah.
Demikian pendapat yang dikemukakan sejumlah kepala sekolah dari berbagai daerah, Kamis (3/12). Pihak sekolah yang mulai menerapkan penilaian siswa secara holistik tidak berdaya untuk meluluskan siswa yang berpotensi karena terganjal nilai ujian nasional (UN) yang tidak memenuhi standar nilai minimal yang ditetapkan pemerintah pada mata pelajaran tertentu.
"Selama ini sekolah menerapkan penilaian yang utuh untuk setiap siswa. Kami tidak hanya menilai siswa dari pencapaian angka-angka saja, tetapi melihat bagaimana mereka berkembang dalam belajar. Tetapi prinsip penilaian sekolah yang seperti itu tidak bisa diterapkan pada saat kelulusan siswa kelas III. Guru dihadang nilai UN," kata Hartono, Kepala SMAN 12 Bandung.
Menurut Hartono, dalam kenyataannya, sekolah tidak bisa meluluskan siswa jika ada nilai UN yang tidak memenuhi standar. "Dinas pendidikan tidak akan menerima siswa itu dinyatakan lulus. Meskipun guru kenal betul bagaimana semangat dan potensi belajar anak itu, kami tidak bisa meluluskan siswa. Data di dinas, siswa itu tidak lulus," jelas Hartono.
Hamdi menyatakan sekolah sebenarnya ingin supaya kontribusi penilaian guru yang jadi pertimbangan utama dalam meluluskan atau tidak meluluskan siswa. "Tetapi regulasi formalnya, nggak lulus UN, ya siswa tidak lulus sama sekali. Padahal, guru tidak sembarangan juga dalam meluluskan siswa karena harus menjaga kualitas sekolahnya," ujar Hamdi.
"Pelaksanaan UN itu selalu menimbulkan rasa was-was. Untuk memberi rasa tenang pada guru, siswa, dan orang tua, sekolah mengadakan pendalaman materi. Kondisi itu terjadi karena UN dipakai sebagai penentu kelulusan," sambung Hamdi.
Syamsuddin, Ketua Persatuan Guru Madrasah Indonesia, menjelaskan hasil UN yang dijadikan landasan kelulusan tidak adil buat siswa. Kompetensi-kompetensi siswa dikebiri hanya karena tidak lulus pada sebagaian mata pelajaran UN. "Tidak semua anak pandai Matematika. Itu bukan berarti mereka bodoh. Kan, masih ada kompetensi-kompetensi lain yang menonjol yang dicapai siswa," ujar Syamsuddin.
Apalagi kondisi sekolah madrasah sekitar 90 persen milik swasta, menghadapi tantangan berat dalam mencapai standar pendidikan nasional. Sekolah madrasah umumnya melayani masyarakat tidak mampu hingga ke pedesaan, tetapi minim bantuan pemerintah karena dinilai bukan milik pemerintah. "Mestinya penilaian itu dipadukan antara penilaian sekolah dan UN. Jangan hanya UN yang jadi penentu," katanya.
ELN
Editor: made
DHONI SETIAWAN/KOMPAS IMAGES
Secara sah keputusan MA harus diikuti, karena itu harus cepat diambil keputusan. Kalau tidak, kerugian akan berimbas pada anak didik.
Artikel Terkait:
* Wah, Ujian Nasional Bakal Diadakan Dua Kali
* Sedih Tiap Kali Teringat UN....
* Pemerintah Tetap Laksanakan Ujian Nasional
* Nuh: Perdebatan UN Tidak Akan Pernah Rampung
* DPD: Dateline Depdiknas Sampai Februari 2010
Kamis, 3 Desember 2009 | 19:38 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil ujian nasional sebagai syarat kelulusan mengabaikan potensi dan kerja keras anak selama belajar di sekolah. Kelulusan siswa hanya dilihat dari pencapaian kemampuan kognitif yang dilakukan sesaat daripada melihat keseluruhan proses belajar siswa di sekolah.
Demikian pendapat yang dikemukakan sejumlah kepala sekolah dari berbagai daerah, Kamis (3/12). Pihak sekolah yang mulai menerapkan penilaian siswa secara holistik tidak berdaya untuk meluluskan siswa yang berpotensi karena terganjal nilai ujian nasional (UN) yang tidak memenuhi standar nilai minimal yang ditetapkan pemerintah pada mata pelajaran tertentu.
"Selama ini sekolah menerapkan penilaian yang utuh untuk setiap siswa. Kami tidak hanya menilai siswa dari pencapaian angka-angka saja, tetapi melihat bagaimana mereka berkembang dalam belajar. Tetapi prinsip penilaian sekolah yang seperti itu tidak bisa diterapkan pada saat kelulusan siswa kelas III. Guru dihadang nilai UN," kata Hartono, Kepala SMAN 12 Bandung.
Menurut Hartono, dalam kenyataannya, sekolah tidak bisa meluluskan siswa jika ada nilai UN yang tidak memenuhi standar. "Dinas pendidikan tidak akan menerima siswa itu dinyatakan lulus. Meskipun guru kenal betul bagaimana semangat dan potensi belajar anak itu, kami tidak bisa meluluskan siswa. Data di dinas, siswa itu tidak lulus," jelas Hartono.
Hamdi menyatakan sekolah sebenarnya ingin supaya kontribusi penilaian guru yang jadi pertimbangan utama dalam meluluskan atau tidak meluluskan siswa. "Tetapi regulasi formalnya, nggak lulus UN, ya siswa tidak lulus sama sekali. Padahal, guru tidak sembarangan juga dalam meluluskan siswa karena harus menjaga kualitas sekolahnya," ujar Hamdi.
"Pelaksanaan UN itu selalu menimbulkan rasa was-was. Untuk memberi rasa tenang pada guru, siswa, dan orang tua, sekolah mengadakan pendalaman materi. Kondisi itu terjadi karena UN dipakai sebagai penentu kelulusan," sambung Hamdi.
Syamsuddin, Ketua Persatuan Guru Madrasah Indonesia, menjelaskan hasil UN yang dijadikan landasan kelulusan tidak adil buat siswa. Kompetensi-kompetensi siswa dikebiri hanya karena tidak lulus pada sebagaian mata pelajaran UN. "Tidak semua anak pandai Matematika. Itu bukan berarti mereka bodoh. Kan, masih ada kompetensi-kompetensi lain yang menonjol yang dicapai siswa," ujar Syamsuddin.
Apalagi kondisi sekolah madrasah sekitar 90 persen milik swasta, menghadapi tantangan berat dalam mencapai standar pendidikan nasional. Sekolah madrasah umumnya melayani masyarakat tidak mampu hingga ke pedesaan, tetapi minim bantuan pemerintah karena dinilai bukan milik pemerintah. "Mestinya penilaian itu dipadukan antara penilaian sekolah dan UN. Jangan hanya UN yang jadi penentu," katanya.
ELN
Editor: made
Komentar