Langsung ke konten utama

Talang Mamak (3)

Suku Talang Mamak dan Kelestarian TN Bukit Tigapuluh
Kompas, Kamis, 18 Mei 2006
http://kompas.com/kompas-cetak/0605/18/teropong/2659273.htm
oleh: NELI TRIANA

Panas menyengat membakar kulit. Debu berterbangan masuk melalui jendela mobil yang membawa kami menyusuri jalan tanah sempit selama 35 menit dari Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, menuju tepi Sungai Gansal.

Jembatan dari susunan tual kayu utuh rata-rata berdiameter 50-70 sentimeter menyambut kami. Di bawah jembatan tampak tiga perahu kayu bermotor tempel 15 PK. Dengan perahu tersebut kami (tim media dan Komunitas Konservasi Indonesia-Warung Informasi) akan menyusuri sungai menuju permukiman Suku Talang Mamak.

Dalam perjalanan menembus Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) untuk bertemu suku Talang Mamak, ternyata kami dipertemukan pula dengan sesama “penguasa” hutan, yaitu suku Rimba atau sering disebut suku Anak Dalam.

Keberuntungan itu tertangkap ketika kami tiba-tiba menyadari kehadiran sekelompok orang Rimba yang menetap sementara di tepian sungai. Kelompok orang Rimba yang dipimpin Mareni (50) itu ternyata baru saja mendapat musibah, yaitu salah satu anaknya baru saja meninggal dunia. Sesuai dengan tradisi orang Rimba, pasca-upacara kematian anggota keluarga, mereka harus pergi mencari tempat tinggal sementara lainnya.

Melangun, demikian nama tradisi tersebut. Melangun adalah bagian dari ekspresi berkabung orang Rimba. Mereka tidak akan kembali ke tempat saudaranya meninggal hingga bertahun-tahun lamanya. Namun, jika kesedihan berakhir, tetap ada kemungkinan kembali menetap di lokasi itu, sedikitnya dalam empat-lima tahun.

Kelompok Mareni adalah bagian kecil dari komunitas suku Rimba yang tersebar di seluruh kawasan TNBT dan juga Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi. Mareni dan kelompoknya berjumlah sekitar 12-14 orang sengaja mendirikan tempat berlindung supersederhana, beralas susunan batang kayu beratap plastik hitam. Tenda-tenda sederhana berukuran 1,5 x 1,5 meter itu dibuat di tepian sungai, masing-masing satu untuk setiap keluarga.

Orang Rimba hidup nomaden, berpindah-pindah di dalam hutan dengan terus berupaya mencari hasil hutan nonkayu, seperti jernang, rotan, dan damar. Pada waktu-waktu tertentu mereka keluar dari hutan atau berjanji di lokasi tertentu untuk bertemu tauke (pengepul) dan menjual hasil pencarian mereka. Uang yang diterima akan digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya.

Di kedalaman hutan, para lelaki orang Rimba hanya bercawat dari lilitan kain. Para perempuan menggunakan kain sebatas pinggang bagi yang telah menikah dan sebatas dada bagi yang masih gadis. Tanpa alas kaki dan berbekal tombak sepanjang dua meter serta parang, orang Rimba berburu babi, landak, tikus, atau hewan-hewan lainnya. Semua buruan itu dimanfaatkan untuk makanan mereka. Mereka juga mencari hasil hutan nonkayu sebagai sumber tambahan penghasilan.

Kehidupan suku Rimba yang sekilas tertangkap setelah berkomunikasi dengan kelompok Mareni segera terekam di ingatan. Kesederhanaan mereka makin membuat kami bersemangat mencari tahu kehidupan saudara mereka sesama penghuni hutan, yaitu suku Talang Mamak.

Ada beberapa rute yang dapat ditempuh untuk mencapai Tuo Datai. Pertama, berjalan kaki menembus hutan selama lebih kurang 12 jam. Kedua, menggunakan sepeda motor mengikuti akses eks jalan hak pengusahaan hutan (HPH) hingga ke batas taman nasional, setelah itu berjalan kaki sekitar empat jam (nonstop) melalui jalan setapak.

Alternatif ketiga menyusuri Sungai Gansal. Menyusuri sungai menjadi pilihan kami. Sabtu 15 April lalu, kami mulai melawan arus Sungai Gansal.
Sungai ini sangat menawan. Berair jernih dan umumnya dangkal, hanya sebatas pinggang orang dewasa. Batu-batu alam terlihat di dasar sungai. Air jernih kehijauan akibat pantulan lumut di dasar sungai dan rimbunnya pepohonan di kanan kiri sungai.

Perjalanan cukup berat karena melawan arus dan sampan yang kami tumpangi sering kandas. Untuk itu, setiap penumpang harus rela turun berbasah-basah mendorong sampan. Di siang hari kami beristirahat di delta sungai yang terdiri atas batu-batu dan tetumbuhan keladi. Makan siang terasa nikmat di alam bebas ini.

“Inilah hutan sebenar-benarnya,” seru seorang teman. Memang pemandangan sungguh menakjubkan, indah dan alami. Sejenis monyet berbulu abu-abu kelam dan putih di bagian perut tampak asyik bergelayutan di pohon-pohon. Burung beo, murai hutan, dan jenis lainnya berterbangan dan sesekali memperdengarkan kicauan merdunya.

Alam sekitar diramaikan bunyi belalang dengan sayap berwarna biru tua metalik, merah tua, dan juga kuning. Mereka terbang mengiringi perahu kami sepanjang perjalanan. Cantik!
Sabtu sore menjelang magrib kami tiba di Desa Siambu, salah satu hunian suku Talang Mamak yang telah memeluk Islam dan menamakan diri mereka masyarakat Melayu. Mereka tinggal di rumah panggung dengan keseluruhan bangunan dari papan kayu dan beratap seng.

Masyarakat Melayu, seperti halnya penduduk pedesaan umum di daerah ini, hidup dari hasil ladang, seperti karet dan petai. Aliran listrik dari PLN belum menyentuh desa ini. Namun, kini sebagian warga telah memiliki mesin diesel pembangkit listrik berbahan bakar bensin. Dengan televisi mereka memang sudah akrab meski tak satu siaran stasiun televisi pun tertangkap. Selain lampu yang menyala di malam hari, house music atau film pun sudah bisa dinikmati dengan menggunakan alat pemutar VCD.

Talang Mamak
Perasaan lega menyelimuti ketika akhirnya kami dapat menapak masuk perkampungan Talang Mamak di Tuo Datai. Rumah-rumah panggung dari papan kayu mirip perkampungan Melayu di Siambu ditemukan di Tuo Datai.

Bertelanjang dada dan becelana pendek, Tetua Talang Mamak, Sidam, menyambut kami. Menyalami kami satu per satu dan menanyakan nama serta kampung asal kami.
“Sidam, tetapi panggil saja Pak Katak. Kami sudah sering mendengar nama-nama daerah asal kalian, tetapi belum pernah kami mengunjungi,” kata laki-laki berusia lebih dari 60 tahun itu sambil tersenyum.

Pak Katak menyilakan kami semua beristirahat di balai pertemuan. Bangunan ini berupa rumah panggung besar dengan ruangan tak bersekat berukuran sekitar 8 x 8 meter dan terdapat dua kamar yang hanya dibatasi dinding setinggi dada orang dewasa. Balai pertemuan ini adalah bekas gereja yang dibangun oleh misionaris Kristen beberapa tahun lalu.

Pak Katak menyatakan, mereka tidak mau memeluk agama apa pun karena mereka telah memiliki keyakinan. Mereka mengakui Nabi Muhammad SAW, tetapi mereka mempunyai cara sendiri dalam berhubungan dan melaksanakan ritual keyakinannya. Namun, ia mengatakan, apabila ada warganya yang memeluk agama lain, itu adalah hak masing-masing.

Sebagai contoh, sekitar 13 kepala keluarga di Desa Siamang, satu hari perjalanan mengarungi Batang Gansal ke arah Desa Rantau Langsat, ditemukan komunitas suku Talang Mamak yang beragama Katolik.

Terlepas dari kehidupan beragama mereka, masyarakat Dusun Tuo Datai masih memegang erat tradisi Talang Mamak dalam kehidupan sehari-hari. Peraturan dan hukum adat berlaku bagi sekitar 70 keluarga yang menetap di dusun itu, meski tempat tinggal mereka terpisah-pisah sesuai letak ladang yang mereka garap dengan jarak tempuh dua jam hingga satu hari berjalan kaki dari Tuo Datai.

Dusun Tuo Datai, menurut Pak Katak, sudah ada sejak masa penjajahan Belanda dan dibangun oleh masyarakat yang ingin menjauhkan diri dari peperangan. Suku ini tergolong Melayu Tua atau Proto Melayu yang merupakan suku asli Indragiri.

Masyarakat suku ini tersebar di empat kecamatan, yaitu Batang Gansal, Cenaku, Kelayang, dan Rengat Barat, Indragiri Hulu, Riau. Terdapat satu kelompok lagi yang menetap di Dusun Semarantihan, Desa Suo-suo, Kecamatan Sumai, Kabupaten Tebo, Jambi.

Warga Talang Mamak sudah hidup menetap dan sebagian besar menggantungkan kecukupan kebutuhan sehari-hari dengan berladang beringsut (berpindah dalam radius tertentu), menakik karet, dan mengambil hasil hutan nonkayu, seperti suku Rimba. Rata-rata mereka tidak mengenal sekolah.

Hanya ada satu sekolah swasta di Desa Siamang dan sebuah Sanggar Belajar Datai di Tuo Datai. Namun, sanggar belajar yang difasilitasi Program Konservasi Harimau Sumatera ini kini terbengkelai karena ditinggal pergi gurunya.

Listrik juga belum menyentuh dusun ini. Akan tetapi, seperti halnya di Desa Siambu, sudah ada diesel pembangkit listrik di salah satu rumah.

Sebagian warga tampak telah mengenakan pakaian lengkap, bercelana panjang atau pendek, berbaju kaus atau berkemeja. Modernisasi yang sedikit demi sedikit merasuk dan tradisi yang kuat memang terpadu di dusun ini.

Mereka tidak risau akan hal ini karena dunia semakin maju dan pengaruh luar memang dipahami tidak dapat ditolak begitu saja. Hanya saja, tameng kekuatan adat atas diri dan pikiran mereka begitu kuat sehingga tidak akan kandas begitu saja karena pengaruh luar. Semua dapat berjalan selaras jika kontrol ada dalam diri masing-masing.

Masyarakat Talang Mamak di Datai ini sudah memahami mereka tinggal dalam kawasan hutan yang termasuk TNBT. Pak Katak menyatakan, warga Datai telah ada sebelum TNBT dibentuk dan mereka telah melestarikan hutan sebelum program pelestarian dengan pencanangan taman nasional dimulai.

Warga Datai dan juga Talang Mamak umumnya percaya pada bersemayamnya roh-roh leluhur di kawasan hutan. Mereka juga yakin hutan berperan penting dan mendominasi kehidupan sosial ekonomi dan budaya warga Talang Mamak. Karena itu, hutan harus dijaga dan dimanfaatkan secara arif.

Berdasarkan kepercayaan itu, terdapat kawasan-kawasan tertentu di sekitar perkampungan yang tidak boleh dibuka untuk ladang, kebun, atau permukiman. Salah satu kawasan keramat adalah Hutan Manggis Bajuhang. Hutan yang dibiarkan alami tanpa campur tangan manusia ini diyakini menjadi penyeimbang bagi kehidupan masyarakat.

Di Datai memang tidak lagi ditemui tradisi mengagungkan pemimpin, seperti menyembah kepala suku atau raja, sistem kebatinan pun sudah tidak ada lagi. Umumnya mereka hidup otonom dalam beraktivitas. Namun, tradisi adat masih kental dirasakan, terutama pada saat perayaan pernikahan (gawai), pengobatan penyakit oleh dukun (kemantan), dan acara 100 hari kematian (tambat kubur).

Terancam
Kehidupan warga Datai yang begitu sederhana bersandar pada alam kini makin terusik oleh ancaman dari luar. Okupasi liar dan besar-besaran di kawasan penyangga TNBT berimbas pada kehidupan sehari-hari masyarakat Talang Mamak.
“Suara harimau jarang terdengar. Damar sudah habis. Binatang buruan pun sulit didapat,” kata Pak Katak. Menurut dia, harimau menjadi pertanda alam. Ketika hutan terusik, harimau pun malas menetap dan memilih hengkang.

Sejak tahun 1997, kawasan penyangga TNBT khususnya di Desa Keritang, Kecamatan Kemuning, Indragiri Hilir, hingga Rantau Langsat, Indragiri Hulu, terusik praktik okupasi liar oleh warga setempat dan pendatang.

Lahan eks HPH yang telah menipis kandungan tegakan pohonnya kian dirusak akibat adanya penebangan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan. Keanekaragaman hayati dalam kawasan penyangga yang seharusnya menyokong kelestarian TNBT kandas.

Di seluruh TNBT dan kawasan penyangganya banyak ditemui lokasi air terjun, antara lain Air Terjun 86 di Desa Keritang. Kawasan hutan TNBT juga ditumbuhi Cindawan Muka Rimau (Rafflesia Arnoldi) yang sangat diminati turis asing. Di kawasan Hutan Manggis Bajuhang yang dilestarikan suku Talang Mamak terdapat danau yang sangat asri dan indah.

Selain itu, potensi ekowisata dapat tergali saat penyusuran Batang Gansal. Di sepanjang sungai ini ditemui Sigulang-gulang Melenai atau jeram yang tidak terlalu terjal, yang terdiri atas tiga tingkatan dengan ketinggian masing-masing sekitar dua meter. Air terjun bertingkat ini serasi dengan hutan alam teduh di sekitarnya.

Senin pagi, 17 April 2006, saat melepas kepergian kami keluar dari Tuo Datai, Pak Katak menyampaikan pesannya agar diteruskan ke pemerintah setempat maupun pusat. Ia ingin masyarakat Talang Mamak diperhatikan kesejahteraannya.

Mereka adalah penjaga alam yang tidak ingin hutannya rusak. Namun, mereka tidak berdaya jika harus berjuang sendirian. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKU RAPORT PAUD DAN PLAYGROUP

Mengingat banyaknya temen-temen yang mampir ke Blog mencari contoh format Buku Raport PAUD dan Playgroup atau apapun istilahnya, buku laporan perkembangan anak didik PAUD dan sebagainya silahkan tinggalkan alamat email di komentar atau shoutbox. Mohon maaf tidak bisa diposting karena filenya berupa format MS Word. Update 25/12/2013: Ini sudah dapat diupload contoh format raport nya di sini Link nya : http://www.scribd.com/doc/193654421/Cover-Buku-Penghubung-PG Semoga bermanfaat

PENGELOLA PAUD HARUS PROFESIONAL (Aparat harus amanah!...)

sumber: http://diskominfo-pde.riau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=985:pengelolaan-paud-harus-profesional&catid=1:berita&Itemid=11 PENGELOLA PAUD HARUS PROFESIONAL Jumat, 23 Oktober 2009 16:31 (Diskominfo-PDE Online) Sesuai dengan Undang-undang Nomor 20/2003 menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pembinaan stimulasi (ransangan) jasmani, dan rohani anak agar memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut. "Semakin meningkatnya orang tua bekerja diluar rumah, membuat fungsi keluarga sebagai tempat untuk mendidik anak semakin berkurang. Kompleksnya kebutuhan anak selaras dengan perkembangan Iptek juga menuntut perlunya lembaga/pihak lain yang mampu menangani pendidikan anak secara profesional," sebut Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengembangan dan Pelatihan Pendidikan Non Formal dan Informal (UPT P3NFI) Kadirman Aries

Promo Tas Eiger