Langsung ke konten utama

Hermeneutika dan Fundamentalisme

Pagi2 dapat tulisan bagus dari milist

==============================================

"Hermeneutika dan Fundamentalisme"


<http://hidayatullah.com/index2.php?option=com_content&task=view&id=6004&pop
=1&page=0&Itemid=55> Cetak halaman ini


<http://hidayatullah.com/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=600
4&itemid=55> Kirim halaman ini melalui E-mail




Senin, 17 Desember 2007


Dosen IAIN mengatakan, ciri fundamentalis adalah orang-orang yang menolak
'hermeneutika'. Kok bisa?. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini
ke-216

Oleh: Adian Husaini

Ahad (9/12/2007) lalu, di Solo, seorang mahasiswa pasca sarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta memberi saya sebuah buku berjudul "Is Religion
Killing Us? (Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan al-Qur'an)". Sudah
cukup lama saya memiliki edisi bahasa Inggris buku karya Jack
Nelson-Pallmeyer tersebut. Banyak hal bisa dikritisi dari isi buku ini,
karena penulisnya sudah menggugat kesucian teks Al-Quran. Misalnya, penulis
berkesimpulan, bahwa "Masalah Islam yang identik dengan kekerasan tidak
hanya sebatas adanya ketidaksesuaian teks-teks, tetapi berakar pada
banyaknya ayat-ayat dalam Qur'an yang melegitimasi kekerasan, peperangan dan
intoleransi." (hal. 165).

Penulis buku ini juga dengan semena-mena membuat kesimpulan, bahwa
"Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut
monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum
beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah yang
berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti teks-teks suci
tersebut." (hal. 180).

Tapi, Nelson-Pallmeyer menulis buku tersebut, berangkat dari pengalaman dan
pemahamannya sebagai seorang Kristen di Barat. Pemahamannya terhadap
Al-Quran dan Islam tampak dangkal. Maka, yang lebih menarik, adalah membaca
kata pengantar edisi bahasa Indonesia buku ini yang ditulis oleh tokoh
Katolik Dr. Haryatmoko S.J. dan khususnya oleh Dr. Hamim Ilyas, seorang
dosen UIN Yogya yang juga anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Karena cukup menarik, kita perlu menyimak kata pengantar Dr. Hamim Ilyas
yang berjudul "Akar Fundamentalisme Dalam Perspektif Al-Qur'an". Berikut ini
paparan Hamim Ilyas tentang fundamentalisme:

"Fundamentalisme adalah satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab)
yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi, sehingga yang dikembangkan
di dalamnya tidak hanya doktrin teologis, taoi juga doktrin-doktrin
ideologis. Doktrin-doktrin itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh pendiri
fundamentalisme modern, yakni Hasan al-Banna, Abu A'la al-Maududi, Sayyid
Quthb, Ruhullah Khumaini, Muhammad Baqir al-Shadr, Abd as-Salam Faraq, Sa'id
Hawa dan Juhaiman al-Utaibi."

Menurut Hamim Ilyas, "Karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme,
yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan yang
dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar
bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat,
tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan."

Lalu, Hamim melanjutkan tulisannya tentang fundamentalisme dengan mengutip
pendapat Azyumardi Azra dan Martin E. Marty, dengan menjelaskan sebagai
berikut:

Pertama, oposionalisme. Fundamentalisme dalam agama mana pun mengambil
bentuk perlawanan - yang bukannya tak sering bersifat radikal - terhadap
ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik yang
berbentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai Barat. Acuan atau tolok
ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang
dalam fundamentalisme Islam adalah Al-Quran dan pada batas-batas tertentu
juga hadits Nabi.

Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap
kritis terhadap teks. Teks al-Qur'an harus dipahami secara literal
sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan
interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari
teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar
tidak dibenarkan melakukan semacam "kompromi" dan menginterpretasikan
ayat-ayat tersebut.

Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum
fundamentalis, pluralisme merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks
kitab suci.

Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum
fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah
membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci... Karena
itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis; dan tanpa
peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat "ideal" - seperti pada
zaman kaum salaf - yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara
sempurna.

"Karakteristik fundamentalisme yang telah mengakar membawa konskuensi logis
munculnya doktrin-doktrin yang justru mengekang, menyiksa diri dan membatasi
ruang gerak, bukannya membebaskan. Doktrin sentral fundamentalisme adalah
Islam kaffah. Dalam doktrin ini Islam tidak hanya diajarkan sebagai sistem
agama, tetapi sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial," tulis sang
dosen tafsir UIN Yogya ini.

Ditambahkan lagi, bahwa "Akar fundamentalisme yang berasal dari kesalahan
menafsirkan teks suci al-Qur'an ternyata benar-benar mencoreng nama Tuhan
(Allah Swt) dan al-Qur'an itu sendiri. Menjadikan Islam sebagai idoelogi
yang mendorong timbulnya ekstrimisme dan radikalisme dapat diyakini sebagai
perilaku berlebih-lebihan dalam beragama yang jelas-jelas dilarang."

Demikianlah kutipan paparan Dr. Hamim Ilyas tentang fundamentalisme.

Ringkasnya, menurut Hamim Ilyas, fundamentalis adalah orang-orang yang
skripturalis atau literalis dalam memahami Al-Quran, menolak hermeneutika,
menolak pluralisme, menolak relativisme dan sebagainya. Paparan dosen tafsir
UIN Yogya tentang "fundamentalisme Islam" ini - sebagaimana banyak
cendekiawan lainnya - masih sebatas membeo definisi fundamentalisme yang
aplikasikan oleh para ilmuwan Barat yang merujuk kepada pengalaman
sosial-keagamaan kaum Yahudi dan Kristen. Jika dicermati, tulisan ini
sebenarnya serampangan dan asal-asalan.

Kita tentu sudah maklum, bahwa istilah dan wacana fundamentalisme keagamaan
dikembangkan oleh Barat menyusul berakhirnya Perang Dingin. Seperti ditulis
Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilization and the Remaking of
World Order, bahwa adalah manusiawi untuk membenci karena untuk penentuan
jati diri dan membangun motivasi, masyarakat perlu musuh. (It is human to
hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in
business, rivals in achievement, opponents in politics).

Sejak itu, wacana "fundamentalisme keagamaan", khususnya "fundamentalis
Islam" dikembangkan. Banyak sarjana dibayar untuk meneliti dan menulis
tentang masalah ini. Seminar-seminar tentang fundamentalisme digelar. Media
massa memainkan peran yang dominan dalam pembentukan opini negatif tentang
kaum yang dicap sebagai fundamentalis.

Istilah-istilah "Islam fundamentalis", "Islam eksklusif", "Islam militan",
Islam radikal", "Islam konservatif", dan sejenisnya memang sering digunakan
untuk memberikan stigma negatif terhadap kelompok-kelompok Islam yang
pemikirannya tidak sejalan dan tidak disukai oleh Barat. Ilmuwan Yahudi,
Prof. Bernard Lewis, dalam bukunya The Crisis of Islam menyatakan, bahwa
fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya, dan menyebutkan bahwa
fundamentalis adalah anti-Barat. (Fundamentalists are anti-Western in the
sense that they regard the West as the source of the evil that is corroding
Muslim society).

Dalam "Catatan Pinggirnya" di Majalah Tempo, 27 Januari 2002, Gunawan
Muhammad menutup tulisannya dengan kalimat: "Fundamentalisme memang aneh dan
keras dan menakutkan: ia mendasarkan diri pada perbedaan, tetapi pada
gilirannya membunuh perbedaan." Lalu, pada pidatonya di Taman Ismail Marzuki
Jakarta, 21 Oktober 1992, Nurcholish Madjid mengatakan: "Kultus dan
fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika."

Genderang perang yang ditabuh oleh Barat dan sekutu-sekutunya dalam melawan
fundamentalisme agama tentu saja dibuat dalam perspektif Barat dan untuk
kepentingan Barat. Karena itulah, proyek ini mendapatkan kucuran dana yang
sangat besar. Salah satu yang menonjol adalah proyek liberalisasi Islam.
Karena itu, kita tentu maklum dengan munculnya orang-orang seperti Hamim
Ilyas ini, yang entah karena ketidaktahuannya atau karena hawa nafsunya
membuat opini-opini yang menyudutkan kaum Muslim dan cendekiawan Muslim
tertentu seperti al-Maududi, dengan memberi stigma negatif semacam
"fundamentalis" dan sebagainya.

Kita bisa saja tidak setuju dengan sebagian pemikiran Hasan al-Banna atau
Abul A'la al-Maududi. Tetapi, untuk apa memberi cap bahwa mereka adalah
fundamentalis, literalis, anti-pluralis, dan sebagainya? Tuduhan-tuduhan
seperti ini sebenarnya sangat naif dan bodoh, apalagi dilakukan oleh seorang
doktor dan dosen tafsir. Abul A'la al-Maududi, misalnya, adalah pemikir
besar yang karya-karyanya telah memberi inspirasi dan manfaat bagi jutaan
kaum Muslim di seluruh dunia.

Lalu, dikatakan oleh Hamim Ilyas, bahwa salah satu ciri fundamentalis adalah
menolak hermeneutika. Pada muktamarnya di Boyolali tahun 2004, NU juga
menolak penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa NU juga fundamentalis?
Di Muhammadiyah sendiri, banyak tokohnya yang telah menulis secara kritis
bahaya penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa mereka semua itu adalah
kaum fundamentalis?

Jika dikatakan Hamim Ilyas, bahwa "doktrin sentral fundamentalisme adalah
Islam kaffah" maka, pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, juga telah
ditetapkan tujuan jangka panjang Persyarikatan Muhammadiyah, yakni
"tumbuhnya kondisi dan faktor-faktor pendukung bagi terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya." Bukankah masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya yang mau diwujudkan oleh Muhammadiyah juga sesuai dengan
konsep "Islam kaffah"? Apa Muhammadiyah juga dicap fundamentalis karena
mencita-citakan terbentuknya masyarakat Islam yang kaffah?

Kita pun patut bertanya kepada doktor tafsir UIN Yogya ini, apa salahnya
jika kaum Muslim ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek
kehidupannya? Apa salahnya jika kaum Muslim menolak paham Pluralisme Agama,
sebagaimana telah difatwakan oleh MUI dan banyak ulama lainnya? Sebelum MUI
menolak paham ini tahun 2005, pada tahun 2000, Vatikan juga telah terlebih
dahulu menolak paham tersebut. Juga, apa salahnya jika kaum Muslim menolak
paham relativisme, yang memang merupakan paham yang merusak pikiran dan
keimanan?

Sebenarnya, jika dicermati, sang dosen UIN Yogya ini pun tidak konsisten
dengan paham relativisme yang diagungkannya sendiri. Lihat saja, gaya
tulisannya yang menghujat dan menyalah-nyalahkan apa yang disebutnya paham
fundamentalisme! Artinya, dalam hal ini, dia juga telah menjadi
fundamentalis, karena merasa sok benar sendiri, dan tidak menerima pandangan
lain, selain pandangannya sendiri.

Di akhir tulisannya, Dr. Hamim Ilyas mengkaitkan aksi terorisme dengan
tafsir fundamentalis. Katanya: "Akhirnya, terorisme yang dilakukan oleh
sebagian umat Islam, dalam kenyataannya merupakan fakta yang direkayasa,
mungkin oleh Barat dan mungkin juga oleh Al-Qaidah pimpinan Usama bin Ladin.
Perbuatan mereka yang merusak itu sedikit banyak berhubungan dengan tafsir
fundamentalisme ini sebagai basis ideologis."

Kesimpulan yang mengaitkan terorisme dengan tafsir keagamaan sebenarnya
terlalu jauh. Ada yang menarik kesimpulan sederhana, karena pelaku aksi
pengeboman membaca buku-buku Ibn Taimiyah, kemudian dikatakan, bahwa buku
Ibn Taimiyah adalah sumber terorisme. Padahal, ratusan juta orang telah
membaca karya-karya Ibn Taimiyah, dan mereka tidak melakukan pengeboman.
Karena itulah, ada sebagian politisi Barat yang meminta agar Al-Quran
dilarang, hanya karena dia melihat para pelaku pengeboman juga membaca
Al-Quran.

Dengan menggunakan sedikit saja kecerdasan, kita bisa membuktikan, bahwa
aksi-aksi terorisme yang terjadi di berbagai penjuru dunia bukanlah dipicu
oleh paham keagamaan, tetapi lebih banyak dipicu oleh faktor eksternal,
terutama faktor ketidakadilan. Para pengikut Hasan al-Banna di Palestina
melakukan aksi jihad - yang oleh Zionis Israel dikatakan sebagai "terorisme"
-- karena mereka terjajah dan terzalimi di negerinya. Di zaman penjajahan
Belanda, kita juga membanggakan pahlawan-pahlawan kita yang berani
mempertaruhkan nyawanya untuk meraih kemerdekaan, meskipun oleh penjajah
dilabeli dengan kaum ekstrimis, dan sebagainya. Di Indonesia, para pengkit
Hasan al-Banna atau pengagum Abul A'la al-Maududi tidak melakukan aksi-aksi
pengeboman.

Karena itulah, sangatlah tidak tepat jika masalah fundamentalisme dan
terorisme dikaitkan dengan penolakan terhadap hermeneutika dan relativisme.
Ini sudah sangat berlebihan dan keterlaluan dalam membebek dan membeo saja
pada pendapat ilmuwan Barat. Orang yang menolak penggunaan metode
hermeneutika dan menggunakan ilmu Tafsir untuk memahami Al-Quran sudah
dimasukkan "kotak maut" bernama fundamentalis. Bahkan, kaum Muslim yang
meyakini kebenaran agamanya sendiri, yang berjuang untuk menjadi Muslim yang
kaffah juga divonis sebagai "fundamentalis", yang dikonotasikan sudah dekat
dengan "teroris".

Di era reformasi dan penjajahan modern ini, sudah begitu banyak aset-aset
umat dan bangsa yang sudah hilang. BUMN sudah banyak yang dijual. Kekayasan
alam telah punah. Ekonomi, politik, teknologi, budaya, dan sebagainya juga
telah "dikuasai". Yang masih tersisa dalam diri kita saat ini adalah
kemerdekaan iman dan pemikiran; kemerdekaan untuk meyakini kebenaran agama
kita sendiri, kemerdekaan untuk memahami Al-Quran dengan cara kita sendiri,
bukan dengan cara agama atau budaya lain.

Kini, sisa-sisa milik kita yang paling pribadi dan vital itu pun mau
dirampas pula. Kita tidak boleh meyakini agama kita sendiri yang benar, dan
harus memeluk paham pluralisme dan relativisme. Kita tidak boleh lagi
menggunakan Ilmu Tafsir kita sendiri dalam memahami Al-Quran, karena sudah
ada ilmu baru yang disodorkan Barat yang bernama hermeneutika. Intinya, kita
disuruh beragama, sebagaimana orang-orang Barat beragama.

Sayang sekali, saat ini, kemerdekaan iman dan pikiran kita itulah yang
hendak mereka rampas, baik dengan cara halus maupun kasar. Kita bisa paham,
jika yang berniat merampas kemerdekaan iman dan pikiran kita adalah
orang-orang sejenis Snouck Hurgronje dan kawan-kawannya. Tapi, alangkah
sedih dan prihatinnya kita, jika yang melakukan perampasan iman dan pikiran
kita itu adalah oknum-oknum bergelar doktor dalam bidang agama, yang sedang
berkuasa di lembaga-lembaga agama. Mudah-mudahan Allah SWT memberi kekuatan
kepada kita untuk mempertahankan iman dan pemikiran keislaman kita di tengah
zaman yang penuh dengan fitnah ini. Amin. [Depok, 14 Desember
2007/www.hidayatullah.com <http://hidayatullah.com/> ]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio
Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com <http://hidayatullah.com/>



Source : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content
<http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6004&Item
id=55> &task=view&id=6004&Itemid=55

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKU RAPORT PAUD DAN PLAYGROUP

Mengingat banyaknya temen-temen yang mampir ke Blog mencari contoh format Buku Raport PAUD dan Playgroup atau apapun istilahnya, buku laporan perkembangan anak didik PAUD dan sebagainya silahkan tinggalkan alamat email di komentar atau shoutbox. Mohon maaf tidak bisa diposting karena filenya berupa format MS Word. Update 25/12/2013: Ini sudah dapat diupload contoh format raport nya di sini Link nya : http://www.scribd.com/doc/193654421/Cover-Buku-Penghubung-PG Semoga bermanfaat

PENGELOLA PAUD HARUS PROFESIONAL (Aparat harus amanah!...)

sumber: http://diskominfo-pde.riau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=985:pengelolaan-paud-harus-profesional&catid=1:berita&Itemid=11 PENGELOLA PAUD HARUS PROFESIONAL Jumat, 23 Oktober 2009 16:31 (Diskominfo-PDE Online) Sesuai dengan Undang-undang Nomor 20/2003 menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pembinaan stimulasi (ransangan) jasmani, dan rohani anak agar memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut. "Semakin meningkatnya orang tua bekerja diluar rumah, membuat fungsi keluarga sebagai tempat untuk mendidik anak semakin berkurang. Kompleksnya kebutuhan anak selaras dengan perkembangan Iptek juga menuntut perlunya lembaga/pihak lain yang mampu menangani pendidikan anak secara profesional," sebut Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengembangan dan Pelatihan Pendidikan Non Formal dan Informal (UPT P3NFI) Kadirman Aries

Promo Tas Eiger