Langsung ke konten utama

SEKOLAH "mudah-mudahan'' GRATIS


sumber: http://www.riaupos.com/main/index.php?mib=berita.detail&id=11397

Minggu, 17 Mei 2009 , 09:46:00
Mengkaji Kebijakan Sekolah Gratis
Iri dengan Orang Miskin

Laporan TIM RIAU POS, Pekanbaru

Kebijakan sekolah gratis adalah subsidi orang kaya tahap dua setelah subsidi minyak. Sebuah kebijakan pendidikan yang dinilai praktisi pendidikan Riau tidak tepat sasaran dan sebuah gerakan pemborosan.

Mulai tahun ajaran baru 2009 mendatang, takkan terdengar lagi kisah anak Indonesia usia wajib belajar (Wajar) sembilan tahun yang menangis pulang ke rumah karena menunggak membayar SPP. Pasalnya di tahun ajaran baru ini, pemerintah telah memberlakukan kebijakan sekolah gratis secara nasional.

Untuk mewujudkan sekolah gratis tersebut sekolah negeri maupun swasta diberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dengan rincian sesuai dengan Buku Panduan BOS 2009, untuk tingkat sekolah dasar di kota sebesar Rp400 ribu per siswa pertahun, sedangkan di kabupaten Rp 397.000 per siswa per tahun. Untuk sekolah tingkat pertama di kota Rp575 ribu per siswa pertahun dan kabupaten Rp570 ribu per siswa per tahun. Dana tersebut, ditujukan untuk menjamin tidak ada lagi siswa miskin yang tidak bisa menuntaskan Wajar.

Program ini memang terdengar mulia dan sangat strategis men yentuh hati rakyat. Itu sebab nya menurut Ketua Majelis Pendidikan Riau Djauzak Ahmad dan Pembantu Rektor I Bidang Akademis Universitas Islam Riau (UIR) Dr Ir Agusnimar MSc sekolah gratis sering menjadi kampanye para calon legislatif, kepala daerah hingga presiden.

Keberadaan dana BOS, janji para calon legislatif, kepala daerah, presiden dan iklan sekolah gratis yang diperankan Cut Mini pemeran Ibu Muslimah di Film Laskar Pelangi, membuat tidak ada lagi keraguan untuk menjamin siswa Indonesia mendapatkan pendidikan gratis. Namun apakah siswa benar-benar akan menda patkan pendidikan gratis? Dan sudah tepatkah program sekolah gratis itu dijalankan?

Jawabannya sangat bervariasi, untuk contoh kasus di Riau saja. Di Bengkalis, program sekolah gratis ini bisa dikatakan paling gratis se-Riau. Pasalnya di kabupaten ini, yang gratis tidak saja SPP, namun juga buku, biaya masuk, biaya pindah, biaya ujian dan lainnya. Bahkan sejumlah siswa juga mendapatkan bantuan sepatu bahkan baju gratis.

“Di sekolah saya tidak sepeserpun biaya yang dipungut dari siswa. Semua operasional sekolah dibiayai dari dana BOS dan dana BOP (Biaya Operasional Pendidikan) serta berbagai program dari anggarapan pemerintahan kabupaten,” ungkap Masnur, salah seorang kepala sekolah di Kabupaten Bengkalis.

Model sekolah gratis itu dirasakan cukup tepat untuk para siswa di sekolahnya yang memang rata-rata berekonomi lemah. Namun, dia merasa ada beberapa hal yang hilang. Misalnya kini interaksi antara guru dan wali murid hampir tidak ada lagi. Jika dulu wali murid sering bertanya apa lagi yang dibutuhkan anaknya kepada guru, semisal buku apa yang bagus dibaca siswa, sekarang tidak ada lagi. Wali murid lebih cuek karena memang anak mereka telah membawa setumpuk buku dari sekolah.

Selain itu, sejak penerapan sekolah gratis, hampir tidak ada ruang-ruang kreasi siswa. Semisal dulu ada acara perpisahan sekolah di mana anak menyumbang tarian dan kreasi lainnya, sekarang hampir tidak ada. Mengingat tidak boleh ada pungutan, maka tidak ada acara perpisahan dan ijazah sekolah pun dibagi tanpa seremonial.

Namun, bukan itu yang sangat dikhawatirkan Masnur. Dia mengkhawatirkan tentang buku ajar bagi siswa. Jika dulu, guru mencari buku yang paling mudah diajarkan dan dipahami siswa. Sekarang guru hanya bisa pasrah menerima jatah. Buku siswa yang sekarang dibelikan hanya disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Semisal buku yang bagus harganya Rp30 ribu, namun dana yang tersedia hanya Rp12 ribu, maka para siswa dan guru terpaksa memakai buku yang harga Rp12 ribu tersebut.

Tak Tepat Sasaran
Persoalan sekolah gratis menurut Ismail Nasution, komite sekolah di SD 002 Bukit Raya juga tidak semuanya tepat. Dia menyebutkan jika di SD 002 Bukit Raya, memang pantas sekolah gratis ditetapkan. Pasalnya para siswa di tempat itu rata-rata adalah anak dari petani ubi dan peternak lembu. Ekonomi mereka hanya pas-pasan.

Namun, jika di SD 001 Lima Puluh di Jalan Hang Tuah rasa nya tidak tepat. Pasalnya di sekolah yang juga dikenal dengan nama SD Teladan itu adalah sekolah mapan. “Lihat saja kemacetan yang terjadi di se-kolah tersebut setiap kali jam mengantar dan menjemput sis-wa. Di situ rata-rata bersekolah anak orang kaya. Apa mau digratiskan juga? Seharusnya ada subsidi silang. Bagi anak dari para siswa yang mampu, tetap dipungut bayaran, namun yang miskin digratiskan,” paparnya.

Menurut Ismail, lebih tepat program sekolah murah berkualitas se-perti yang diterapkan Pemerintah Kota Pekanbaru tahun ajaran ini. Artinya, tidak gratis, namun membayar sesuai dengan kemampuan dan pekerjaan orang tuanya.

Selain itu model program sekolah gratis menurutnya, penuh dengan pemborosan. Mengingat seringkali fasilitas sekolah dilengkapi dengan menggunakan jatah. Misalnya suatu sekolah diberi jatah lima komputer, padahal kebutuhannya hanya dua hingga tiga buah karena keterbatasan aliran listrik dan sumber daya manusia (SDM) pengguna. Begitu juga dengan pemberian LCD, padahal tidak ada yang menggunakannya. Kalaupun ada hanya sesekali saja. Pemborosan itu semua, menurutnya, terjadi karena adanya pemerataan jatah komputer dan LCD di tiap sekolah yang tidak disesuaikan lagi dengan kebutuhan.

Ismail juga menuturkan pengalamannya saat menjalankan program cuci tangan siswa sekolah di 22 SD se Pekanbaru dua bulan terakhir ini. Ismail prihatin saat melihat program buku gratis yang diberikan pemerintah lewat BOS buku. Dia melihat kebanyakan buku tersebut banyak yang sekadar jadi pajangan. Itu ditandai dengan buku-buku tersebut terlihat tersusun rapi di rak perpustakaan.

“Secara kasat mata kan kita bisa lihat, kalau buku pernah dibaca atau tidak. Kalau banyak dibaca tentu bukunya mengembang. Bahkan saya pernah lihat ada buku baru yang disimpan di gudang sekolah. Ada apa dengan buku-buku gratis tersebut? Apakah kelebihan saat membeli?” tanyanya.

Tak sampai disitu saja, Dr Ir Agusnimar MSc mengkhawatirkan sekolah gratis itu mengurangi partisipasi masyarakat terhadap pendidikan karena semua biaya pendidikan ditangggung oleh pemerintah. Penda-pat senada juga diungkapkan oleh Prof Irwan Effendi, Kepala Dinas Pendidikan Nasional Riau.

‘’Kita khawatir jika semua pendidikan itu digratiskan tidak ada kepedulian masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri. Biarlah pendidikan gratis ini untuk orang-orang susah atau siswa-siswa yang ada di sekolah marjinal,’’ ujarnya.

Irwan maupun praktisi pendidikan lainnya seperti Kepala PGRI Riau Isjoni menyarankan dalam dunia pendidikan harus ada subsidi silang. Jika pendidikan gratis itu diberikan kepada mereka yang tidak mampu memang tidak menjadi persoalan, akan tetapi jika pendidikan gratis itu diberikan kepada mereka orang kaya tentu tidak pada tempatnya. Subsidi silang dalam dunia pendidikan ini sangat penting sekali.

Apalagi bila melihat masih banyak dana yang dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia. Dari pada mensubsidi orang kaya, lebih baik dana tersebut dialirkan untuk memperbaiki sekolah-sekolah marginal atau meningkatkan honor para guru honor yang rata-rata digaji di bawah UMR (Upah Minimum Regional).

Dipaksa Menerima BOS
Ketimpangan tentang penerapan sekolah gratis sebenarnya telah dirasakan sejak dana BOS digulirkan. Pasalnya dana BOS diberikan merata ke seluruh sekolah tanpa pandang bulu. Baik sekolah pinggiran dengan fasilitas terbatas hingga sekolah swasta elit yang biaya sekolahnya le-bih tinggi dari perguruan tinggi.

Ambil contoh SDIT Al-Ittihad Rumbai. Sekolah dengan biaya sekolah sekitar Rp600 ribu per bulan ini dan uang pangkal Rp7 juta ini, juga mendapatkan dana BOS. Untuk tahun ajaran lalu, menurut Kepala Sekolahnya Mansur, SD tersebut mendapatkan dana BOS sekitar Rp47 juta bagi 475 siswanya.

Jika dilihat dari sekolah tersebut, sebenarnya biaya pendidikan mahal tidak jadi soal bagi orang tua siswa. Pasalnya tahun ajaran baru ini saja sudah ada 143 siswa baru yang siap antre masuk sekolah ini. Padahal mereka ha-nya akan menampung 100 siswa. Itu baru di sekolah Al-Ittihad, masih banyak sekolah serupa seperti Assofa, Al Azhar, Dharma Yudha dan sekolah lainnya. Artinya masih banyak siswa di Riau yang sebenarnya tidak perlu di-subsidi.

Tapi entah apa yang menjadi alasan paling tepat. Setiap siswa seperti dipaksa menerima subsidi biaya pendidikan lewat dana BOS. Apalagi terang-terangan, beberapa waktu lalu, Kepala Dinas Pendikan Nasional Riau Irwan Effendi, mengungkapkan tahun ajaran ini tidak boleh ada sekolah yang menolak dana BOS. Bagi sekolah yang menolak, maka pemerintah tidak akan melayani sekolah bersangkutan. Misalnya dengan cara tidak dikirimi soal Ujian Nasional atau meregister siswanya. Kebijakan itu katanya untuk menjamin Wajar 9 tahun di Riau.

Dari pemaksaan dana BOS tersebut, bisa dilihat bagaimana sekolah memaksakan diri memberikan subsidi bagi setiap siswa. Tidak peduli kaya atau miskin. Seperti itu pulalah, sekolah gratis hendak diwujudkan. Semuanya gratis tanpa pandang bulu.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam siaran pers Diknas Maret lalu menegaskan bahwa meskipun dia menyatakan memungut haram hukumnya, namun sangat menganjurkan sumbangan. Sekolah yang maju, menurutnya, adalah sekolah yang orang tua siswanya menyumbang dan peduli. Dengan kata lain kini hanya mengharapkan kesadaran orang tua untuk peduli terhadap pendidikan di sekolah anaknya.

Namun pertanyaannya, sebe-rapa banyak orang tua yang mau peduli untuk menyumbang itu? Menurut Ismail, saat ini banyak orang kaya yang iri dengan orang miskin. Itulah sebabnya, menurutnya pilihan agar orang tua siswa yang berperan aktif memberikan sumbangan dirasakan sulit diwujudkan. “Seandainya saja, ada pemilahan bahwa hanya orang kaya yang bayar biaya pendidikan, saya yakin banyak orang tua siswa yang lebih mengaku miskin. Walaupun tentunya ini tidak semua juga,” ujarnya.

Kini pendidikan sekolah gratis sudah digulirkan. Dampak baik dan buruknya akan segera kelihatan. Semoga bangsa ini tidak terlambat mengantisipasi dampak buruk dari pelaksanaan sekolah gratis.(ndi/gem/muh)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKU RAPORT PAUD DAN PLAYGROUP

Mengingat banyaknya temen-temen yang mampir ke Blog mencari contoh format Buku Raport PAUD dan Playgroup atau apapun istilahnya, buku laporan perkembangan anak didik PAUD dan sebagainya silahkan tinggalkan alamat email di komentar atau shoutbox. Mohon maaf tidak bisa diposting karena filenya berupa format MS Word. Update 25/12/2013: Ini sudah dapat diupload contoh format raport nya di sini Link nya : http://www.scribd.com/doc/193654421/Cover-Buku-Penghubung-PG Semoga bermanfaat

PENGELOLA PAUD HARUS PROFESIONAL (Aparat harus amanah!...)

sumber: http://diskominfo-pde.riau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=985:pengelolaan-paud-harus-profesional&catid=1:berita&Itemid=11 PENGELOLA PAUD HARUS PROFESIONAL Jumat, 23 Oktober 2009 16:31 (Diskominfo-PDE Online) Sesuai dengan Undang-undang Nomor 20/2003 menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pembinaan stimulasi (ransangan) jasmani, dan rohani anak agar memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut. "Semakin meningkatnya orang tua bekerja diluar rumah, membuat fungsi keluarga sebagai tempat untuk mendidik anak semakin berkurang. Kompleksnya kebutuhan anak selaras dengan perkembangan Iptek juga menuntut perlunya lembaga/pihak lain yang mampu menangani pendidikan anak secara profesional," sebut Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengembangan dan Pelatihan Pendidikan Non Formal dan Informal (UPT P3NFI) Kadirman Aries

Promo Tas Eiger