sumber: http://www.detikfinance.com/read/2009/05/14/143836/1131440/4/ekonomi-neoliberal-masih-adakah
Kamis, 14/05/2009 14:38 WIB
Ekonomi Neoliberal, Masih Adakah?
Nurul Qomariyah - detikFinance
Jakarta - Kalimat ekonomi neoliberal sedang jadi tren menjelang pemilihan presiden. Mencuatnya Boediono sebagai cawapres pun lantas dikait-kaitkan dengan paham ekonomi neoliberal itu. Benar kah? Bagaimana sebetulnya ekonomi neoliberal ini?
Ekonomi neoliberal diartikan sebagai filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Ekonomi neoliberal fokus pada metode pasar bebas dan sangat sedikit membatasi perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.
Dalam pandangan kepala ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, saat ini susah untuk mencari negara yang menerapkan model ekonomi neoliberal secara murni. Amerika Serikat (AS) yang disebut-sebut menerapkan ekonomi neoliberal, sebenarnya tak lagi secara murni menerapkan teori itu.
"AS sebenarnya tidak purely ekonomi neoliberalisme. Segala sesuatunya ada UU. Bahkan sekelas Microsoft pun kena aturan. Mereka sendiri secara relatif, kalau bikin spektrumnya relatif sebelah kanan, lebih ke sangat terbuka, sangat bebas. Tapi mereka juga mengimbangi untuk menolong masyarakatnya, dengan modal security system untuk menolong masyarakat yang tidak mampu," urai Anton dalam perbincangannya dengan detikFinance, Kamis (14/5/2009).
Negara mana yang kini menerapkan neoliberalisme? "Sekarang susah kalau mau mencari yang purely neoliberalism," ujar Anton.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Anton menjelaskan, dari banyak sisi, mengkaitkan perekonomian Indonesia dengan paham ekonomi neoliberalisme sangat lah jauh. Salah satu indikator dari ekonomi neoliberalisme adalah seberapa jauh peran negara dalam perekonomian.
Padahal di Indonesia, justru peran pemerintah sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Badan-badan usaha pemerintah juga memberikan kontribusi yang cukup besar.
Kalau pun mau dilihat dari peran Foreign Direct Investment (FDI) terhadap PDB, nilainya cukup kecil di Indonesia.
"Porsi FDI terhadap PDB di Indonesia tu masih relatif kecil kalau dibandingkan dengan yang lain. Mungkin untuk 2-3 sektor seperti pertambangan, FDI besar, tapi yang lain kan tidak? Bahkan untuk sektor perbankan, bank BUMN justru mendominasi," tambah Anton.
Neoliberalisme juga memberikan batasan-batasan yang sangat kecil bagi pelaku usaha. Sementara di Indonesia pembatasan terhadap pelaku usaha sangat banyak, misalnya dengan kehadiran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
"Di Indonesia, institusi mengambil peran yang penting, sementara neoliberalisme institusi tidak diperhatikan. Padahal kita sangat memperhatikan, contohnya kehadiran KPPU yang menjadi wasit jika ada monopoli," ujarnya lagi.
Dari sisi utang luar negeri, Anton menjelaskan bahwa saat ini justru sudah dikelola dengan baik meski manajemen utangnya masih perlu ditingkatkan.
"Ke depannya, bagaimana utang itu bisa digunakan dengan lebih efektif. Jadi jangan banyak yang bocor atau terlambat pelaksanaan proyeknya," imbuhnya.
Sosok Boediono, lanjut Anton, justru dikatakan memiliki program yang cukup kuat untuk penurunan utang-utang asing. Seperti diketahui, Boediono ketika tahun 2001-2004 menjabat sebagai Menkeu, memfokuskan perhatian pada konsolidasi fiskal.
"Program utamanya adalah konsolidasi fiskal dalam arti mencoba menyelamatkan fiskal supaya kuat dan kelihatan juga didalamnya penurunan utang-utang luar negeri yang terkait CGI. Kalau kayak gitu berarti dia cukup care dengan soal utang luar negeri," kata Anton lagi.
Apa sebenarnya paham ekonomi Indonesia? Anton menyebutnya sebagai paham campuran.
"Kita menggunkan mekanisme pasar, dimana mekanisme pasar lebih bisa berjalan mendukung efisiensi dan produktivitas, tapi tidak kebablasan dalam artian membiarkan yang besar berkuasa, yang kecil akan mati," paparnya.
Terkait rencana SBY memilih Boediono sebagai cawapres, Anton melihatnya dari 3 sisi:
* Pertama, Boediono dinilai sebagai orang yang bersih, anti korupsi dan tidak terlibat bisnis apapun, serta hidupnya penuh kesederhanaan. "Dia bukan tipe orang pebisnis sehingga proyek tidak akan tercampuri oleh dirinya atau keluarganya," jelas Anton.
* Kedua, hal itu menunjukkan bahwa ekonomi masih menjadi prioritas pemerintah dalam 5 tahun ke depan, apalagi di tengah situasi krisis.
* Ketiga, untuk meredam pertikaian antara parpol yang memperebutkan posisi tersebut.
(qom/ir)
Kamis, 14/05/2009 14:38 WIB
Ekonomi Neoliberal, Masih Adakah?
Nurul Qomariyah - detikFinance
Jakarta - Kalimat ekonomi neoliberal sedang jadi tren menjelang pemilihan presiden. Mencuatnya Boediono sebagai cawapres pun lantas dikait-kaitkan dengan paham ekonomi neoliberal itu. Benar kah? Bagaimana sebetulnya ekonomi neoliberal ini?
Ekonomi neoliberal diartikan sebagai filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Ekonomi neoliberal fokus pada metode pasar bebas dan sangat sedikit membatasi perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.
Dalam pandangan kepala ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, saat ini susah untuk mencari negara yang menerapkan model ekonomi neoliberal secara murni. Amerika Serikat (AS) yang disebut-sebut menerapkan ekonomi neoliberal, sebenarnya tak lagi secara murni menerapkan teori itu.
"AS sebenarnya tidak purely ekonomi neoliberalisme. Segala sesuatunya ada UU. Bahkan sekelas Microsoft pun kena aturan. Mereka sendiri secara relatif, kalau bikin spektrumnya relatif sebelah kanan, lebih ke sangat terbuka, sangat bebas. Tapi mereka juga mengimbangi untuk menolong masyarakatnya, dengan modal security system untuk menolong masyarakat yang tidak mampu," urai Anton dalam perbincangannya dengan detikFinance, Kamis (14/5/2009).
Negara mana yang kini menerapkan neoliberalisme? "Sekarang susah kalau mau mencari yang purely neoliberalism," ujar Anton.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Anton menjelaskan, dari banyak sisi, mengkaitkan perekonomian Indonesia dengan paham ekonomi neoliberalisme sangat lah jauh. Salah satu indikator dari ekonomi neoliberalisme adalah seberapa jauh peran negara dalam perekonomian.
Padahal di Indonesia, justru peran pemerintah sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Badan-badan usaha pemerintah juga memberikan kontribusi yang cukup besar.
Kalau pun mau dilihat dari peran Foreign Direct Investment (FDI) terhadap PDB, nilainya cukup kecil di Indonesia.
"Porsi FDI terhadap PDB di Indonesia tu masih relatif kecil kalau dibandingkan dengan yang lain. Mungkin untuk 2-3 sektor seperti pertambangan, FDI besar, tapi yang lain kan tidak? Bahkan untuk sektor perbankan, bank BUMN justru mendominasi," tambah Anton.
Neoliberalisme juga memberikan batasan-batasan yang sangat kecil bagi pelaku usaha. Sementara di Indonesia pembatasan terhadap pelaku usaha sangat banyak, misalnya dengan kehadiran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
"Di Indonesia, institusi mengambil peran yang penting, sementara neoliberalisme institusi tidak diperhatikan. Padahal kita sangat memperhatikan, contohnya kehadiran KPPU yang menjadi wasit jika ada monopoli," ujarnya lagi.
Dari sisi utang luar negeri, Anton menjelaskan bahwa saat ini justru sudah dikelola dengan baik meski manajemen utangnya masih perlu ditingkatkan.
"Ke depannya, bagaimana utang itu bisa digunakan dengan lebih efektif. Jadi jangan banyak yang bocor atau terlambat pelaksanaan proyeknya," imbuhnya.
Sosok Boediono, lanjut Anton, justru dikatakan memiliki program yang cukup kuat untuk penurunan utang-utang asing. Seperti diketahui, Boediono ketika tahun 2001-2004 menjabat sebagai Menkeu, memfokuskan perhatian pada konsolidasi fiskal.
"Program utamanya adalah konsolidasi fiskal dalam arti mencoba menyelamatkan fiskal supaya kuat dan kelihatan juga didalamnya penurunan utang-utang luar negeri yang terkait CGI. Kalau kayak gitu berarti dia cukup care dengan soal utang luar negeri," kata Anton lagi.
Apa sebenarnya paham ekonomi Indonesia? Anton menyebutnya sebagai paham campuran.
"Kita menggunkan mekanisme pasar, dimana mekanisme pasar lebih bisa berjalan mendukung efisiensi dan produktivitas, tapi tidak kebablasan dalam artian membiarkan yang besar berkuasa, yang kecil akan mati," paparnya.
Terkait rencana SBY memilih Boediono sebagai cawapres, Anton melihatnya dari 3 sisi:
* Pertama, Boediono dinilai sebagai orang yang bersih, anti korupsi dan tidak terlibat bisnis apapun, serta hidupnya penuh kesederhanaan. "Dia bukan tipe orang pebisnis sehingga proyek tidak akan tercampuri oleh dirinya atau keluarganya," jelas Anton.
* Kedua, hal itu menunjukkan bahwa ekonomi masih menjadi prioritas pemerintah dalam 5 tahun ke depan, apalagi di tengah situasi krisis.
* Ketiga, untuk meredam pertikaian antara parpol yang memperebutkan posisi tersebut.
(qom/ir)
Komentar