Langsung ke konten utama

REFLEKSI HARI GURU

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/25/01110570/kala.guru.seperti.buruh

Kala Guru seperti Buruh
Selasa, 25 November 2008 | 01:11 WIB

Tabrani Yunis

Akhir-akhir ini, banyak muncul organisasi guru alternatif di Tanah Air. Diawali dengan munculnya Federasi Guru Independen Indonesia pada tanggal 17 Januari 2002 yang menghimpun sebanyak 20 organisasi dan forum guru dari seluruh Indonesia.

Ada pula Asosiasi Guru Nanggroe Aceh Darussalam (Asgu-NAD), Koalisi Guru Bersatu (Kobar-GB) Aceh, Ikatan Guru Honorer Indonesia (IGHI) Padang-Sumbar, Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung, Jakarta Teachers Club (JTC), Forum Aspirasi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Subang, Purwakarta, dan Sumedang.

Di samping itu juga hadir Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas) Purwokerto, Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP) Jakarta, Forum Komunikasi Guru Tangerang (FKG), Forum Guru-Guru Garut (FOGGAR), Forum Guru Tasikmalaya (FGT), Solidaritas Guru Semarang (Sogus), Forum Komunikasi Guru Kota Malang (Fokus Guru), Perhimpunan Guru Tidak Tetap (PGTTI) Kediri, Aliansi Guru Nasional Indonesia (AGNI) Jawa Timur, Perhimpunan Guru Mahardika Indonesia (PGMI) Lombok, dan Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI) Jakarta. Begitu banyak dan menjamurnya organisasi guru alternatif yang lahir di era kebebasan berserikat ini.

Fenomena ini menarik untuk disidik karena sebenarnya para guru di Indonesia telah memiliki wadah organisasi PGRI. Lalu, mengapa kemudian banyak bermunculan organisasi guru alternatif? Akankah kehadiran organisasi-organisasi guru alternatif ini menggeser fungsi PGRI? Pertanyaan-pertanyaan di atas, kiranya perlu kita jawab.

Apalagi, Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagaimana ditulis di beberapa media cetak, mengutarakan kegalauannya terhadap fenomena itu. Detik.com tanggal 14 November 2008 memberitakan bahwa JK meminta guru-guru di seluruh Indonesia tidak terpecah belah. Para guru diharap tetap bernaung di bawah organisasi PGRI. Dikatakan, jika guru terpecah-pecah, akan seperti buruh. Saat ini, para buruh bernaung pada berbagai organisasi.

Tidak beralasan

Meminta agar guru tidak mengikuti jejak para buruh Indonesia dan semua guru harus bernaung di bawah PGRI adalah sebuah kegalauan yang tidak beralasan. Ada beberapa alasan mengapa hal ini perlu disikapi. Pertama, bahwa sekarang bukan zamannya menutup pintu demokrasi. Apalagi memilih organisasi lain sebagai wadah penyaluran aspirasi tidak dilarang oleh undang-undang. Munculnya organisasi-organisasi guru alternatif sebenarnya positif dan memang harus ada di alam demokrasi.

Kedua, munculnya kegalauan Wapres terhadap gerakan guru yang menyalurkan aspirasi di luar PGRI karena pemerintah sebenarnya tidak memahami akar masalah yang dihadapi oleh para guru di Indonesia. Padahal, Wapres sendiri pada tahun 2005 pernah berjanji menyelesaikan masalah guru di Indonesia. Harian Kompas, 8 Juni 2005, memberitakan bahwa Wapres berjanji untuk mengatasi masalah guru di Indonesia dalam waktu tiga tahun. Menurut Wapres, ada tiga masalah guru yang akan diselesaikan. Pertama, masalah guru bantu. Kedua, masalah kualitas dan profesionalitas guru yang rendah. Dan yang ke tiga, soal tingkat kesejahteraan guru yang masih jauh dari garis kesejahteraan. Nah, sekarang sudah tahun 2008, mengapa masalah guru masih saja belum bisa diatasi?

Ketiga, Wapres tidak selayaknya mengatakan bahwa semua guru harus bernaung di bawah PGRI karena apa yang melatarbelakangi munculnya organisasi guru alternatif tersebut, justru sebagai jawaban lain terhadap kelemahan dan kekurangan PGRI yang tidak pernah mau diperbaiki. Keran PGRI tidak dapat dijadikan sebagai wadah saluran aspirasi lagi. Apalagi sejak dulu, PGRI tidak dipimpin oleh guru, tetapi oleh para pejabat dinas pendidikan yang memiliki kepentingan dan menggunakan PGRI sebagai kendaraan politik. Jadi, sangatlah tidak adil bila guru dilarang mencari organisasi guru alternatif untuk memperjuangkan hak dan nasib mereka.

Kiranya, bulan ini sebagai bulan lahirnya PGRI, merupakan saat yang tepat untuk merefleksi diri. Seharusnya para petinggi dan pengurus PGRI belajar memahami masalah anggotanya. Sudah saatnya juga kepengurusan PGRI diberikan kepada guru.

Keempat, kegalauan pemerintah terhadap guru juga tidak terlepas karena kelemahan pemerintah mengurus para guru. Pemerintah cenderung mendorong para guru melakukan aksi-aksi yang biasanya digunakan para buruh dalam menuntut kenaikan upah. Di Aceh misalnya, ribuan guru di Aceh Tenggara berdemonstrasi menuntut dicairkannya tunjangan fungsional guru yang tertahan selama setahun. Hal ini bukan saja masalah di Aceh, tetapi masalah guru secara nasional.

Tunjangan profesi tersendat

Darmanintyas dalam ”Resentralisasi Kebijakan Guru” (Kompas, 29/9/2007) menyebutkan bahwa pembayaran tunjangan profesi pendidik untuk guru yang masuk kuota sertifikasi tahun 2006 dan 2007 saja amat lamban. Dana tunjangan profesi pendidik yang disediakan pemerintah senilai Rp 2,8 triliun, baru sekitar Rp 600 miliar yang disalurkan kepada guru yang sudah dinyatakan lulus uji sertifikasi. Mengulur-ulur pembayaran. Konon, dana itu sudah disalurkan ke provinsi.

Nah, kalau begini caranya pemerintah mengurus guru di negeri, wajar saja sosok guru ideal sulit didapatkan. Selama ini, profesi guru selalu dituntut untuk bisa tampil ideal sebagai seorang tenaga edukasi yang profesional, yaitu guru yang menjalankan tugas mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik dengan mengikuti kode etik seorang guru.

Ketika seorang guru terpaksa menjadi tukang ojek, lalu dikatakan itu tidak layak dijalankan para guru karena memperburuk citra guru, pertanyaannya, mengapa pemerintah atau dinas pendidikan di kota dan kabupaten menyiksa guru dengan mengabaikan kesejahteraan guru?

Karenanya, berikanlah kebebasan kepada guru untuk membangun organisasi alternatif sebagai media perjuangan. Jadi, pemerintah tidak perlu memaksa semua guru harus menjadi anggota PGRI. Kalau PGRI ingin dicintai guru, PGRI harus mengubah gaya kepemimpinannya.

Kalau pemerintah ingin proses pendidikan di Indonesia bisa berjalan baik, sudah saatnya pemerintah mengurus guru secara benar. Pemerintah harus lebih serius membangun profesionalitas dan kesejahteraan guru. Bila guru dihargai dan ditingkatkan harkat dan martabatnya, akan berdampak positif bagi dunia pendidikan di negeri ini.

Tabrani Yunis Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh

Komentar

Anonim mengatakan…
Hidup Guru!!!

Postingan populer dari blog ini

BUKU RAPORT PAUD DAN PLAYGROUP

Mengingat banyaknya temen-temen yang mampir ke Blog mencari contoh format Buku Raport PAUD dan Playgroup atau apapun istilahnya, buku laporan perkembangan anak didik PAUD dan sebagainya silahkan tinggalkan alamat email di komentar atau shoutbox. Mohon maaf tidak bisa diposting karena filenya berupa format MS Word. Update 25/12/2013: Ini sudah dapat diupload contoh format raport nya di sini Link nya : http://www.scribd.com/doc/193654421/Cover-Buku-Penghubung-PG Semoga bermanfaat

Kelas YouTube Gratis

GRATIS 🌹🌹 Kelas Gratis belajar YouTube bersama Priangga. Priangga Otviapta, seorang digital marketer sejak 2015 hingga saat ini. Disini kamu akan belajar dari pengalamannya selama bertahun-tahun. Langsung cek link pendaftarannya di bawah ini Kelas YouTube Gratis Atau Klik di sini

Wisuda

Tanggal 28 Juni 2007, anak-anak playgroup angkatan ke-3 dan TK angkatan pertama wisuda. Menurut laporan dari Kepala Sekolah, tahun ini ada 16 orang siswa playgroup yang ikut wisuda dari 32 murid dan 10 dari 12 murid TK. Syukurlah, akhirnya tahun ajaran ini bisa dilewati dengan "lancar"… :( dengan segala macam perjuangan di dalamnya…salut buat guru-guru dan pengelola sekolah. Dengan fasilitas "seadanya" mereka tetap semangat. Malah orang-orang yayasan yang mesti dievaluasi. Beberapa catatan setelah berakhirnya tahun ajaran 2006-2007 : Playgroup sudah Ok, namanya sudah identik dan melekat di masyarakat…kalau nanya "Playgroup"…(istilahnya pun masih baru untuk ukuran sini) orang pasti ingatnya ke Playgroup INSANI. :)) paling tidak para tukang becak udah pada hafal. TK, masih perlu banyak pembenahan selain masih baru -angkatan 1- sudah banyak juga TK yang mapan di sini. Dengan backing cukup kuat, TK pertiwi milik Dharma wanita, Bhayangkari milik Polres, Kartik...