sumber: http://riaupos.com/main/index.php?mib=berita.detail&id=5905
Jum'at, 03 April 2009 , 07:50:00
Partisipasi Politik Umat di Pemilu.
Memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan hak warga negara. Sebagai hak, maka hukum dasar penggunaannya adalah mubah, artinya boleh digunakan dan boleh juga tidak. Hal ini sejalan dengan kaidah umum dalam bermuamalah “al-ashlu fil asyya‘i al-ibahah, hatta yadullu al-dalil ‘ala al-tahrim” (Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya).
Akan tetapi kaidah ushul fikih ini tidak berhenti pada mubah “tok” saja, bahkan apabila ada dalil atau `ilat lain, maka hukum asal dapat berubah. Sebagaimana halnya dengan hukum asal makan adalah mubah, namun hukumnya dapat bergeser menjadi wajib, haram, sunnah atau makruh, tergantung konteks yang melingkarinya.
Makan dapat menjadi wajib apabila tanpa makan seseorang akan mengalami sakit, bahkan mengancam jiwanya. Maka makan diharamkan bagi seseorang yang berpuasa. Dalam kondisi seperti ini berlaku kaidah “Penetapan hukum tergantung ada tidaknya `illat”.
Di tengah pemerintahan yang otoriter dan despotik, di mana pelaksanaan Pemilu hanya bersifat artifisial serta simbolik semata, maka “tidak memilih” (Golput) sebagai protes dan pengingkaran atas perilaku penguasa yang despotik, bisa dihukumi sunnah dan dianjurkan.
Hal ini apabila upaya perbaikan sistem tidak dapat dilakukan kecuali hanya dengan jalan Golput. Barangkali inilah maksud hadits Nabi, Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan (kekuasaaan), apabila tidak sanggup dengan lisan, dan bila tidak sanggup juga dengan hati dan itu adalah selemah-lemah iman.
Mengapa Memilih
Pemilu adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Oleh karena itu, pelaksanaan Pemilu menjadi hal yang urgen karena terkait dengan sistem penegakan kekuasaan (‘aqd al-imamah). Tanpa melalui jalan Pemilu, kekuasaan pemerintahan tidak dapat ditegakkan. Negara tanpa pemerintahan akan kacau bahkan anarkisme.
Dengan demikian, Pemilu menjadi wajib karena menjadi instrumen atau sarana untuk menegakkan hal yang wajib, yakni pemilihan pemimpin.
Menurut kaidah ushul fiqh, “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu itu hukumnya juga wajib)”.
Ini berarti, apabila penegakan kekuasaan pemerintahan tergantung dengan pelaksanaan Pemilu maka partispiasi dalam Pemilu hukumnya juga wajib. Hal ini tentu tidak dimaksudkan bagi mereka yang uzur (berhalangan) dan atau secara administrasi tidak terdaftar atau terpanggil sebagai pemilih.
Berpartisipasi dalam Pemilu harus pula dengan kecerdasan tertentu yang oleh Al-Mawardi (dalam Ahkam al-sulthaniyyah) disebutkan Pertama, memiliki sifat adil, kedua, memiliki pengetahuan yang cukup tentang calon pemimpin yang akan dipilih, ketiga, memiliki pandangan dan kearifan dalam menentukan pilihan.
Pemilih yang cerdas pasti akan menentukan pilihannya kepada calon pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabliqh), mempunyai kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kemaslahatan umum.
Singkat kata, pilihlah pemimpin yang takut kepada Allah dan kasih sayang terhadap rakyatnya, pastilah ia akan berempati untuk mengemban amar ma‘ruf nahi munkar.
Oleh karena itu, apabila di antara calon pemimpin terdapat calon-calon yang memenuhi syarat, juga ada calon yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan yang disebutkan di atas, maka wajib memilih yang dianggap memenuhi syarat.
Apabila tidak, maka terpilihlah mereka yang tidak memenuhi syarat itu, dan dalam keadaan seperti ini pasti menimbulkan kemudaratan. Menurut kaidah ushul fiqh, “Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari mengambil kemaslatahan”.
Hadits Nabi, “Baragsiapa mengangkat seseorang untuk mengurus perkara kaum Muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang lain yang berkompeten dari yang diangkat, maka dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya”. Wallahu`alam.***
Prof Dr H Mahdini MA, Ketua Umum MUI Riau.
Jum'at, 03 April 2009 , 07:50:00
Partisipasi Politik Umat di Pemilu.
Memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan hak warga negara. Sebagai hak, maka hukum dasar penggunaannya adalah mubah, artinya boleh digunakan dan boleh juga tidak. Hal ini sejalan dengan kaidah umum dalam bermuamalah “al-ashlu fil asyya‘i al-ibahah, hatta yadullu al-dalil ‘ala al-tahrim” (Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya).
Akan tetapi kaidah ushul fikih ini tidak berhenti pada mubah “tok” saja, bahkan apabila ada dalil atau `ilat lain, maka hukum asal dapat berubah. Sebagaimana halnya dengan hukum asal makan adalah mubah, namun hukumnya dapat bergeser menjadi wajib, haram, sunnah atau makruh, tergantung konteks yang melingkarinya.
Makan dapat menjadi wajib apabila tanpa makan seseorang akan mengalami sakit, bahkan mengancam jiwanya. Maka makan diharamkan bagi seseorang yang berpuasa. Dalam kondisi seperti ini berlaku kaidah “Penetapan hukum tergantung ada tidaknya `illat”.
Di tengah pemerintahan yang otoriter dan despotik, di mana pelaksanaan Pemilu hanya bersifat artifisial serta simbolik semata, maka “tidak memilih” (Golput) sebagai protes dan pengingkaran atas perilaku penguasa yang despotik, bisa dihukumi sunnah dan dianjurkan.
Hal ini apabila upaya perbaikan sistem tidak dapat dilakukan kecuali hanya dengan jalan Golput. Barangkali inilah maksud hadits Nabi, Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan (kekuasaaan), apabila tidak sanggup dengan lisan, dan bila tidak sanggup juga dengan hati dan itu adalah selemah-lemah iman.
Mengapa Memilih
Pemilu adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Oleh karena itu, pelaksanaan Pemilu menjadi hal yang urgen karena terkait dengan sistem penegakan kekuasaan (‘aqd al-imamah). Tanpa melalui jalan Pemilu, kekuasaan pemerintahan tidak dapat ditegakkan. Negara tanpa pemerintahan akan kacau bahkan anarkisme.
Dengan demikian, Pemilu menjadi wajib karena menjadi instrumen atau sarana untuk menegakkan hal yang wajib, yakni pemilihan pemimpin.
Menurut kaidah ushul fiqh, “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu itu hukumnya juga wajib)”.
Ini berarti, apabila penegakan kekuasaan pemerintahan tergantung dengan pelaksanaan Pemilu maka partispiasi dalam Pemilu hukumnya juga wajib. Hal ini tentu tidak dimaksudkan bagi mereka yang uzur (berhalangan) dan atau secara administrasi tidak terdaftar atau terpanggil sebagai pemilih.
Berpartisipasi dalam Pemilu harus pula dengan kecerdasan tertentu yang oleh Al-Mawardi (dalam Ahkam al-sulthaniyyah) disebutkan Pertama, memiliki sifat adil, kedua, memiliki pengetahuan yang cukup tentang calon pemimpin yang akan dipilih, ketiga, memiliki pandangan dan kearifan dalam menentukan pilihan.
Pemilih yang cerdas pasti akan menentukan pilihannya kepada calon pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabliqh), mempunyai kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kemaslahatan umum.
Singkat kata, pilihlah pemimpin yang takut kepada Allah dan kasih sayang terhadap rakyatnya, pastilah ia akan berempati untuk mengemban amar ma‘ruf nahi munkar.
Oleh karena itu, apabila di antara calon pemimpin terdapat calon-calon yang memenuhi syarat, juga ada calon yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan yang disebutkan di atas, maka wajib memilih yang dianggap memenuhi syarat.
Apabila tidak, maka terpilihlah mereka yang tidak memenuhi syarat itu, dan dalam keadaan seperti ini pasti menimbulkan kemudaratan. Menurut kaidah ushul fiqh, “Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari mengambil kemaslatahan”.
Hadits Nabi, “Baragsiapa mengangkat seseorang untuk mengurus perkara kaum Muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang lain yang berkompeten dari yang diangkat, maka dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya”. Wallahu`alam.***
Prof Dr H Mahdini MA, Ketua Umum MUI Riau.
Komentar