BANDUNG, (PR).-
Stabilitas politik nasional yang selalu berubah-ubah membuat penyusunan skenario pendidikan dalam jangka panjang menjadi sangat sulit dilakukan. Memprediksi arah pendidikan dalam waktu 25 tahun pun menjadi pekerjaan pelik yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Salah satu perumus Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dari Universitas Islam Nusantara, Dedi Mulyasana, mengungkapkan hal itu dalam diskusi perencanaan RPJPD bidang pendidikan dalam 25 tahun ke depan di Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat, Jln. Ir. H. Djuanda Bandung, Selasa (14/8). Selain aspek pendidikan, diskusi yang diselenggarakan dalam bentuk focus group discussion juga dibagi dalam aspek agama dan kebudayaan. Salah satu tujuan adalah untuk mendapatkan masukan untuk menyempurnakan Rancangan RPJPD Provinsi Jabar 2005-2025.
Menurut Dedy,dalam 25 tahun ke depan, rumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Barat yang disusun bersama tokoh-tokoh pendidikan Jawa Barat diharapkan dapat mengantarkan masyarakat pendidikan Jawa Barat menjadi masyarakat yang mampu bersaing di kancah nasional dan global.
Dedi membenarkan, bukan hal yang mudah untuk mencapai target tersebut. Sebab, pendidikan diselimuti berbagai masalah yang kompleks terutama kultur belajar siswa dan kinerja guru yang masih belum bagus.
"Sekarang siswa berada di kelas itu bukan karena panggilan ingin belajar, tetapi lebih karena adanya tekanan kultur yang mengharuskan mereka berada di kelas. Apakah itu orang tuanya marah jika tidak sekolah, atau diskors karena absen, atau bahkan ditangkap polisi jika berada di luar sekolah. Jadi, mereka terpaksa berada di kelas dan bukan karena ingin meningkatkan kualitas diri, tetapi lebih kepada menunggu lonceng berbunyi," tuturnya.
Ia mengatakan, kualitas di sini bukan hanya dilihat dari angka serta nilai sekolah mereka, melainkan dalam arti nilai tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.
Kinerja tenaga pengajar pun, dalam pandangan Dedy, belum sampai kepada tahap yang memuaskan. Sebab, sebagian besar guru masih bergelut dengan urusan perut. "Bagaimana mau konsentrasi mengajar kalau mereka masih dipusingkan dengan urusan keuangan," katanya.
Menurut dia, berdasarkan Kongres Guru Internasional 2007, kesejahteraan guru di Indonesia setara dengan kesejahteraan guru di Afrika. Artinya, guru di Indonesia masih masuk dalam kategori miskin.
"Harusnya guru itu dijadikan sebagai profesi sehingga mereka profesional dan tidak salah mengajar. Di Malaysia saja gaji guru itu mencapai Rp 15 juta per bulan," katanya.
Sertifikasi
Program sertifikasi guru yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan guru, menurut Dedi, menjadi salah satu upaya yang positif. Namun, yang terjadi saat ini sertifikasi malah menjadi tuntutan administrasi saja agar guru bisa mendapat tambahan gaji.
"Yang dimaksud sertifikasi kan bukan seperti itu, tetapi menjadi sebuah simbol profesionalisme seorang guru. Tapi, harus diakui memang sulit dan serba salah juga," katanya.
Dedi berpendapat, yang harus dilakukan sekarang adalah perubahan kultur dalam kegiatan belajar-mengajar. Anggaran sebesar apa pun tidak akan berbuat banyak jika kultur di masyarakat dan tenaga kependidikan masih seperti saat ini.
"Terutama yang harus menjadi fokus adalah pendidikan di usia dini, yakni setingkat TK. Usia pembentukan kepribadian itu ada di TK. Di usia ini hal-hal yang sifatnya kognitif semestinya jangan dulu diperkenalkan. Sebab, belum saatnya mereka bisa baca tulis, tetapi bagaimana caranya menumbuhkan spirit, budaya belajar, dan motivasi. Itu yang diperlukan," ungkapnya.
Masyarakat pun, menurut dia, hendaknya sadar dan mengerti bahwa sekolah TK itu bukan untuk mengajar anak-anak membaca dan menulis. Biarkan guru yang mendidik anak-anak sesuai dengan usianya. Jangan dicampuri oleh orang tua yang menginginkan anaknya pandai membaca dan menulis di bangku TK. Setelah duduk di bangku SD, anak-anak baru bisa diperkenalkan dengan yang namanya membaca dan menulis. “Yang terjadi sekarang kan salah.
Di TK anak-anak dipaksa untuk baca tulis, mau masuk SD pun harus dites baca tulis. Ini yang salah," katanya.
Ke depan, Dedi melanjutkan, semestinya jumlah sekolah TK diperbanyak terutama yang berstatus negeri. Sebab, saat ini hampir 80 persen sekolah TK dimiliki swasta. "Tapi, hal ini juga harus diikuti perubahan pengajar di SD dan sekolah menengah. Misalnya saja, guru besar harus mau turun mengajar di SD, sebab di tingkat ini anak-anak sedang dalam tahap peningkatan IQ. Bukan justru di perguruan tinggi dosennya guru besar, padahal kan IQ mereka sudah tidak bertambah lagi," tuturnya. (A-157)***
Sumber: Pikiran Rakyat Edisi Cetak, Rabu 15 Agustus 2007
Stabilitas politik nasional yang selalu berubah-ubah membuat penyusunan skenario pendidikan dalam jangka panjang menjadi sangat sulit dilakukan. Memprediksi arah pendidikan dalam waktu 25 tahun pun menjadi pekerjaan pelik yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Salah satu perumus Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dari Universitas Islam Nusantara, Dedi Mulyasana, mengungkapkan hal itu dalam diskusi perencanaan RPJPD bidang pendidikan dalam 25 tahun ke depan di Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat, Jln. Ir. H. Djuanda Bandung, Selasa (14/8). Selain aspek pendidikan, diskusi yang diselenggarakan dalam bentuk focus group discussion juga dibagi dalam aspek agama dan kebudayaan. Salah satu tujuan adalah untuk mendapatkan masukan untuk menyempurnakan Rancangan RPJPD Provinsi Jabar 2005-2025.
Menurut Dedy,dalam 25 tahun ke depan, rumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Barat yang disusun bersama tokoh-tokoh pendidikan Jawa Barat diharapkan dapat mengantarkan masyarakat pendidikan Jawa Barat menjadi masyarakat yang mampu bersaing di kancah nasional dan global.
Dedi membenarkan, bukan hal yang mudah untuk mencapai target tersebut. Sebab, pendidikan diselimuti berbagai masalah yang kompleks terutama kultur belajar siswa dan kinerja guru yang masih belum bagus.
"Sekarang siswa berada di kelas itu bukan karena panggilan ingin belajar, tetapi lebih karena adanya tekanan kultur yang mengharuskan mereka berada di kelas. Apakah itu orang tuanya marah jika tidak sekolah, atau diskors karena absen, atau bahkan ditangkap polisi jika berada di luar sekolah. Jadi, mereka terpaksa berada di kelas dan bukan karena ingin meningkatkan kualitas diri, tetapi lebih kepada menunggu lonceng berbunyi," tuturnya.
Ia mengatakan, kualitas di sini bukan hanya dilihat dari angka serta nilai sekolah mereka, melainkan dalam arti nilai tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.
Kinerja tenaga pengajar pun, dalam pandangan Dedy, belum sampai kepada tahap yang memuaskan. Sebab, sebagian besar guru masih bergelut dengan urusan perut. "Bagaimana mau konsentrasi mengajar kalau mereka masih dipusingkan dengan urusan keuangan," katanya.
Menurut dia, berdasarkan Kongres Guru Internasional 2007, kesejahteraan guru di Indonesia setara dengan kesejahteraan guru di Afrika. Artinya, guru di Indonesia masih masuk dalam kategori miskin.
"Harusnya guru itu dijadikan sebagai profesi sehingga mereka profesional dan tidak salah mengajar. Di Malaysia saja gaji guru itu mencapai Rp 15 juta per bulan," katanya.
Sertifikasi
Program sertifikasi guru yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan guru, menurut Dedi, menjadi salah satu upaya yang positif. Namun, yang terjadi saat ini sertifikasi malah menjadi tuntutan administrasi saja agar guru bisa mendapat tambahan gaji.
"Yang dimaksud sertifikasi kan bukan seperti itu, tetapi menjadi sebuah simbol profesionalisme seorang guru. Tapi, harus diakui memang sulit dan serba salah juga," katanya.
Dedi berpendapat, yang harus dilakukan sekarang adalah perubahan kultur dalam kegiatan belajar-mengajar. Anggaran sebesar apa pun tidak akan berbuat banyak jika kultur di masyarakat dan tenaga kependidikan masih seperti saat ini.
"Terutama yang harus menjadi fokus adalah pendidikan di usia dini, yakni setingkat TK. Usia pembentukan kepribadian itu ada di TK. Di usia ini hal-hal yang sifatnya kognitif semestinya jangan dulu diperkenalkan. Sebab, belum saatnya mereka bisa baca tulis, tetapi bagaimana caranya menumbuhkan spirit, budaya belajar, dan motivasi. Itu yang diperlukan," ungkapnya.
Masyarakat pun, menurut dia, hendaknya sadar dan mengerti bahwa sekolah TK itu bukan untuk mengajar anak-anak membaca dan menulis. Biarkan guru yang mendidik anak-anak sesuai dengan usianya. Jangan dicampuri oleh orang tua yang menginginkan anaknya pandai membaca dan menulis di bangku TK. Setelah duduk di bangku SD, anak-anak baru bisa diperkenalkan dengan yang namanya membaca dan menulis. “Yang terjadi sekarang kan salah.
Di TK anak-anak dipaksa untuk baca tulis, mau masuk SD pun harus dites baca tulis. Ini yang salah," katanya.
Ke depan, Dedi melanjutkan, semestinya jumlah sekolah TK diperbanyak terutama yang berstatus negeri. Sebab, saat ini hampir 80 persen sekolah TK dimiliki swasta. "Tapi, hal ini juga harus diikuti perubahan pengajar di SD dan sekolah menengah. Misalnya saja, guru besar harus mau turun mengajar di SD, sebab di tingkat ini anak-anak sedang dalam tahap peningkatan IQ. Bukan justru di perguruan tinggi dosennya guru besar, padahal kan IQ mereka sudah tidak bertambah lagi," tuturnya. (A-157)***
Sumber: Pikiran Rakyat Edisi Cetak, Rabu 15 Agustus 2007
Komentar