sumber: http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/11/23/20193215/umr.plus.untuk.guru.honorer.
UMR Plus untuk Guru Honorer
M.LATIEF/KOMPAS IMAGES
Ilustrasi: Nasib guru honorer sebenarnya bisa sedikit lebih baik apabila pemerintah daerah kabupaten/kota membantu menambah anggaran dalam BOS.
Artikel Terkait:
* Nasib 372 Guru Honorer Banyumas Diperjuangkan ke Pusat
* DPR Ingatkan Nasib Guru
* Soal Guru Honorer, Pemkab Banyumas "Nyerah"
* Tuntut Status PNS-nya, Ratusan Guru Honorer Unjuk Rasa
* Guru Honorer Didata Ulang
Senin, 23 November 2009 | 20:19 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Luki Aulia
JAKARTA, KOMPAS.com - Untuk memperbaiki nasib guru honorer, pemerintah didesak segera menetapkan peraturan pemerintah yang melindungi guru honorer, wiyata bakti, dan tidak tetap dengan mengatur sistem perekrutan hingga pemberian upah yang wajar.
Upah minimal pendidikan bagi guru honorer diharapkan lebih baik dari upah minimum regional yang diterima buruh pabrik, atau paling tidak setara dengan gaji minimal guru pegawai negeri sipil.
Demikian hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo, Senin (23/11), di Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. "Harus ada upah minimum regional atau UMR Plus bagi guru honorer, wiyata bakti, dan tidak tetap. Plus, di sini berarti lebih besar dari buruh pabrik atau setara dengan guru PNS dengan tambahan tunjangan khusus," ujarnya.
Desakan untuk memberikan UMR Plus kepada guru honorer itu, kata Sulistiyo, karena kemungkinan besar tidak mungkin seluruh guru honorer akan bisa diangkat menjadi PNS.
Pemberian upah untuk guru honorer di berbagai daerah, terutama di daerah terpencil, masih sangat tidak wajar, berkisar Rp 100-200 ribu per bulan yang diambil dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Padahal dana BOS juga sering terlambat cair sehingga guru dan kepala sekolah terpaksa iuran terlebih dahulu untuk membiayai operasional sekolah.
Pemberian imbalan yang tidak wajar ini dianggap PGRI sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi guru. Banyak guru yang sudah mengabdi lama honornya jauh di bawah UMR buruh pabrik yang hanya lulusan SD atau SMP.
"Kalau Rp 200 ribu per bulan kan tidak wajar. Banyak guru TK yang gajinya Rp 100 per bulan walaupun mereka terlihat senang, karena dari pagi sampai siang nyanyi terus," kata Sulistiyo.
Menanggapi masalah guru honorer, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi mengingatkan, sesuai dengan Undang-Undang Guru No 14 tahun 2005 pasal 15, pemberian gaji untuk guru menjadi kewajiban pihak yang mengangkat. Misalnya, guru yang diangkat oleh pemerintah pusat atau daerah akan diberi gaji oleh pemerintah.
Namun jika guru itu diangkat oleh masyarakat, maka pengangkatannya pun berdasarkan sistem kontrak yang disepakati. "Di setiap sekolah aturannya beda-beda. Ada yang diberikan setiap bulan rutin ditambah dengan gaji tambahan jam mengajar tetapi ada juga yang tidak," ujarnya.
Untuk memperjelas nasib guru honorer, kata Baedhowi, Depdiknas pernah mengusulkan kepada Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara agar ada aturan yang jelas mengenai pengangkatan guru honorer supaya mereka dapat terlindungi. Namun, sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya.
Untuk sementara, Depdiknas telah melakukan pemetaan kebutuhan guru yang riil, sehingga pengangkatan guru bisa ditata dan dikendalikan. "Secara kuantitas sebenarnya jumlah guru sudah cukup, bahkan berlebihan," ujarnya.
Daerah tidak membantu
Nasib guru honorer sebenarnya bisa sedikit lebih baik apabila pemerintah daerah kabupaten/kota membantu menambah anggaran dalam BOS. Menurut Sulistiyo, yang terjadi selama ini justru BOS hanya diperoleh dari pemerintah pusat.
Oleh karena itu, PGRI mengusulkan agar setiap pemerintah daerah membuat peraturan daerah tentang BOS Daerah. "Seharusnya dihitung pengeluaran untuk wajib belajar 9 tahun. Misalnya, biayanya Rp 100 itu kan artinya dari pemerintah pusat Rp 25 dan dari daerah seharusnya Rp 75," ujarnya.
Setiap daerah harus menyadari, bahwa dana BOS terutama untuk pendidikan dasar kini menjadi satu-satunya sumber operasional kegiatan pendidikan. Jika pencairan dana BOS dilakukan bulan Maret seperti yang selama ini terjadi, maka pihak sekolah yang akan menanggung beban operasional sekolah sejak Januari sampai Maret.
"Sekarang banyak sekolah yang harus pinjam kesana-kemari untuk operasional pendidikan Januari sampai Maret. Kalau tidak begitu, darimana mereka dapat uangnya," kata Sulistiyo.
Editor: latief
Sumber : Kompas Cetak
UMR Plus untuk Guru Honorer
M.LATIEF/KOMPAS IMAGES
Ilustrasi: Nasib guru honorer sebenarnya bisa sedikit lebih baik apabila pemerintah daerah kabupaten/kota membantu menambah anggaran dalam BOS.
Artikel Terkait:
* Nasib 372 Guru Honorer Banyumas Diperjuangkan ke Pusat
* DPR Ingatkan Nasib Guru
* Soal Guru Honorer, Pemkab Banyumas "Nyerah"
* Tuntut Status PNS-nya, Ratusan Guru Honorer Unjuk Rasa
* Guru Honorer Didata Ulang
Senin, 23 November 2009 | 20:19 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Luki Aulia
JAKARTA, KOMPAS.com - Untuk memperbaiki nasib guru honorer, pemerintah didesak segera menetapkan peraturan pemerintah yang melindungi guru honorer, wiyata bakti, dan tidak tetap dengan mengatur sistem perekrutan hingga pemberian upah yang wajar.
Upah minimal pendidikan bagi guru honorer diharapkan lebih baik dari upah minimum regional yang diterima buruh pabrik, atau paling tidak setara dengan gaji minimal guru pegawai negeri sipil.
Demikian hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo, Senin (23/11), di Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. "Harus ada upah minimum regional atau UMR Plus bagi guru honorer, wiyata bakti, dan tidak tetap. Plus, di sini berarti lebih besar dari buruh pabrik atau setara dengan guru PNS dengan tambahan tunjangan khusus," ujarnya.
Desakan untuk memberikan UMR Plus kepada guru honorer itu, kata Sulistiyo, karena kemungkinan besar tidak mungkin seluruh guru honorer akan bisa diangkat menjadi PNS.
Pemberian upah untuk guru honorer di berbagai daerah, terutama di daerah terpencil, masih sangat tidak wajar, berkisar Rp 100-200 ribu per bulan yang diambil dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Padahal dana BOS juga sering terlambat cair sehingga guru dan kepala sekolah terpaksa iuran terlebih dahulu untuk membiayai operasional sekolah.
Pemberian imbalan yang tidak wajar ini dianggap PGRI sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi guru. Banyak guru yang sudah mengabdi lama honornya jauh di bawah UMR buruh pabrik yang hanya lulusan SD atau SMP.
"Kalau Rp 200 ribu per bulan kan tidak wajar. Banyak guru TK yang gajinya Rp 100 per bulan walaupun mereka terlihat senang, karena dari pagi sampai siang nyanyi terus," kata Sulistiyo.
Menanggapi masalah guru honorer, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi mengingatkan, sesuai dengan Undang-Undang Guru No 14 tahun 2005 pasal 15, pemberian gaji untuk guru menjadi kewajiban pihak yang mengangkat. Misalnya, guru yang diangkat oleh pemerintah pusat atau daerah akan diberi gaji oleh pemerintah.
Namun jika guru itu diangkat oleh masyarakat, maka pengangkatannya pun berdasarkan sistem kontrak yang disepakati. "Di setiap sekolah aturannya beda-beda. Ada yang diberikan setiap bulan rutin ditambah dengan gaji tambahan jam mengajar tetapi ada juga yang tidak," ujarnya.
Untuk memperjelas nasib guru honorer, kata Baedhowi, Depdiknas pernah mengusulkan kepada Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara agar ada aturan yang jelas mengenai pengangkatan guru honorer supaya mereka dapat terlindungi. Namun, sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya.
Untuk sementara, Depdiknas telah melakukan pemetaan kebutuhan guru yang riil, sehingga pengangkatan guru bisa ditata dan dikendalikan. "Secara kuantitas sebenarnya jumlah guru sudah cukup, bahkan berlebihan," ujarnya.
Daerah tidak membantu
Nasib guru honorer sebenarnya bisa sedikit lebih baik apabila pemerintah daerah kabupaten/kota membantu menambah anggaran dalam BOS. Menurut Sulistiyo, yang terjadi selama ini justru BOS hanya diperoleh dari pemerintah pusat.
Oleh karena itu, PGRI mengusulkan agar setiap pemerintah daerah membuat peraturan daerah tentang BOS Daerah. "Seharusnya dihitung pengeluaran untuk wajib belajar 9 tahun. Misalnya, biayanya Rp 100 itu kan artinya dari pemerintah pusat Rp 25 dan dari daerah seharusnya Rp 75," ujarnya.
Setiap daerah harus menyadari, bahwa dana BOS terutama untuk pendidikan dasar kini menjadi satu-satunya sumber operasional kegiatan pendidikan. Jika pencairan dana BOS dilakukan bulan Maret seperti yang selama ini terjadi, maka pihak sekolah yang akan menanggung beban operasional sekolah sejak Januari sampai Maret.
"Sekarang banyak sekolah yang harus pinjam kesana-kemari untuk operasional pendidikan Januari sampai Maret. Kalau tidak begitu, darimana mereka dapat uangnya," kata Sulistiyo.
Editor: latief
Sumber : Kompas Cetak
Komentar