Sumber : <http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/20/tanahair/3027783.htm>
Senin, 20 November 2006
Talang Mamak, Bertahan di Tengah Kegamangan
Neli Triana
Perjalanan Kompas akhir September lalu sembari menjalani puasa pada awal Ramadhan diliputi keberuntungan. Keinginan melihat dari dekat kehidupan suku Talang Mamak tertua di Dusun Durian Cacar ternyata berbuah "bonus". Tepat di pusat hunian Talang Mamak itu tengah dilangsungkan pesta adat besar, perkawinan dua pasang muda-mudi dan sunatan dua anak laki-laki.
Menyaksikan pesta adat salah satu suku terasing di Riau dan masyarakat asli penghuni Hutan Bukit Tigapuluh yang bersebelahan dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh bukan hal mudah. Keterpencilan daerah itu dan tidak adanya sarana komunikasi modern yang sanggup menjangkaunya menyebabkan informasi apa pun dari dusun ini selalu terlambat diterima dunia luar. Tidak tanggung-tanggung, selama tiga hari tiga malam kami pun melahap semua suguhan pesta adat tersebut.
Tubuh berpeluh penuh debu, sementara badan pegal-pegal karena tiga jam duduk di atas sepeda motor melintasi jalan tanah lintas perkebunan dari Pematang Reba menuju Dusun Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, saat itu. Sebelumnya, sekitar empat jam kami harus tepekur di atas travel (sebutan untuk kendaraan wisata) dari Kota Pekanbaru menuju Pematang Reba.
Durian Cacar terletak di tengah kawasan hutan yang hampir seluruhnya telah terbuka. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit begitu nyata merambah dusun ini. Ladang dan kebun karet warga Talang Mamak terkucil di antara perkebunan sawit yang sebagian besar dikuasai warga pendatang, kaum transmigran asal Jawa, Batak, serta sebagian kecil warga Minang.
Keramaian pesta tiba-tiba mengusir keheningan. Dusun kecil itu lebih tampak sebagai pasar dadakan daripada permukiman. Mengelilingi lapangan tepat di depan balai adat yang berupa rumah panggung besar, beberapa pedagang menggelar dagangannya. Mereka menjual aneka makanan ringan dan minuman kaleng. Selain itu, ada pula pedagang keliling penjual aksesori perempuan, mulai dari jepit rambut sampai kosmetik harga murah meriah.
Suasana "pasar malam" itu kontras dengan situasi di dalam balai adat. Rumah panggung ini berupa ruang tanpa sekat berukuran sekitar 15 meter x 15 meter. Seluruh bangunan berasal dari susunan papan kayu dengan sebagian atap telah dilapisi seng. Di sisi kanan, ruang yang ada menyatu dengan dapur besar berukuran 5 meter x 5 meter. Semua kegiatan berlangsung di rumah ini: memasak, makan, tidur, berkumpulnya para tetua adat membicarakan masalah intern suku, bahkan upacara pernikahan dan sunatan.
Kompas dan seorang teman dari Konsorsium Konservasi Indonesia-Warung Informasi (KKI-Warsi) disambut hangat para tetua adat serta masyarakat setempat. Satu per satu kami berkenalan dengan para petinggi itu. Sebagian tampak berpeci dan hampir tidak dapat dibedakan dengan masyarakat desa pada umumnya. Hanya satu dua saja tokoh yang dituakan dan mengenakan "tikuluk", kain yang dibebatkan khas untuk penutup kepala.
Para perempuan muda dan kaum laki-lakinya sudah mengikuti tren mode terkini. Celana jin panjang hingga menyapu tanah dan kaus pas badan. Beberapa ibu tampak masih setia mengenakan kain—yang menyelimuti sebagian tubuhnya—mulai dari pinggang hingga sedikit di bawah lutut.
Kawin campur
Pasangan pengantin pada hari itu adalah Sunardi (19)-Inuh (16) dan Leper (19)-Kurnia (17). Pasangan pertama sama-sama dari suku Talang Mamak, sementara pengantin perempuan pada pasangan kedua berasal dari suku Sunda yang menetap di Dusun Utama, berbatasan dengan Durian Cacar. Kurnia mengikuti orangtuanya sebagai transmigran.
Cinta memang menyatukan segalanya, seperti halnya Leper dan Kurnia. Kurnia pun tak canggung mengikuti adat calon suaminya meski diakui begitu berbeda dengan budayanya.
Yang paling menarik adalah pakaian yang mereka kenakan. Pengantin laki-laki maupun remaja yang hendak disunat mengenakan celana jins atau celana kain dengan kemeja lengan pendek motif suka-suka. Dari sepatu bola yang dipakai atau sandal gunung, jam tangan hingga peci, dipastikan adalah barang yang baru saja dibeli.
Selempang dari tiga helai kain warna-warni menghiasi pundak. Payung warna merah menyala dihiasi pernak-pernik keemasan dibawa laksana tongkat. Peci antara lain dihiasi jepit-jepit mungil aneka warna.
Mempelai perempuan berdandan tak kalah seru. Riasan wajah lengkap, mulai dari pemerah bibir hingga maskara (untuk melentikkan alis mata). Mereka memakai lilitan kain sebagai bawahan penuh dengan jalinan benang emas. Salah satu mempelai perempuan mengenakan penutup kepala mirip pakaian adat Minang, Sumatera Barat. Satu orang lagi menggelung rambutnya dan memasang beberapa hiasan rambut keemasan.
"Mereka adalah raja dan ratu dalam tiga hari ini. Pakaian dan riasan menandakan itu semua. Kini tidak ada lagi kain kulit kayu. Itu hanya untuk orang-orang tua pendahulu kita. Sekarang mereka berdandan seperti masa kini. Hanya saja jalannya prosesi tetap harus sesuai dengan ketentuan adat," kata Laman.
Laman adalah mantan Patih, pemimpin tertinggi yang membawahi masyarakat Talang Mamak di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) hingga ke Dusun Tuo Datai yang berada di dalam kawasan taman nasional.
Menurut Laman, selama tiga hari tiga malam muda-mudi Talang Mamak saling melirik dan mencari pasangan. Bertandang, demikian sebutan untuk usaha pendekatan antara remaja yang sama-sama melajang itu. Ketika menemukan tambatan hati, pihak laki-laki kemudian memberi tanda jadi berupa barang apa saja, antara lain baju.
Dengan berseri-seri, perempuan yang telah mendapatkan tanda jadi melaporkan hal itu kepada ibunya. Keluarga perempuan pun menaksir kesungguhan calon menantunya. Jika sudah merasa yakin, si laki-laki diundang ke rumah perempuan dan boleh bermalam beberapa hari hingga maksimal tiga bulan. Akhirnya tanggal pernikahan ditentukan setelah keluarga laki-laki dan perempuan bermusyawarah.
Perhelatan di hari pertama adalah basajak adat, dilanjutkan dengan bebanggah pada malam kedua, dan hari terakhir, yaitu panggil sorot. Basajak adat merupakan acara kumpul bersama saling tukar nasihat bagi kedua mempelai, dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Selanjutnya, mempersatukan kesepakatan semua sesepuh adat dengan bergiliran meminum air dari satu wadah mirip gentong. Air di dalam wadah tersebut telah dibacakan doa oleh salah satu tetua adat. Menghirupnya dari suluh pohon, menandakan persetujuan semua pihak atas perkawinan tersebut.
Pada hari terakhir acara didahului dengan makan bersama secara adat. Lauk dan nasi dihidangkan. Para laki-laki duduk berkeliling, terpisah dari perempuan. Kemudian pengantin laki-laki bergiliran meminta doa dari masing-masing tetua adat. Setelah restu didapatkan, beriringan dengan pengantin perempuan, mereka pun menghirup suluh meminum air bersama tanda mereka sah menjadi suami-istri.
Seperti yang diungkapkan Laman, selama tiga hari kami juga menyaksikan keramaian, hiruk-pikuk, serta kegembiraan masyarakat Talang Mamak. Di pagi hari arena lapangan depan balai adat sudah riuh dengan kelompok-kelompok masyarakat yang adu ayam.
Taji pasangan berupa bilah pisau diikat kuat di kaki ayam jago masing-masing. Uang taruhan dikumpulkan dan permainan pun dimulai hingga salah satu ayam dipastikan mati penuh luka di sekujur tubuhnya. Kalah atau menang semua bergembira. Si pemenang mendapat uang serta ayamnya bakal berharga tinggi dalam taruhan-taruhan berikutnya.
Yang kalah harus merelakan bangkai ayam jagoannya berakhir di kuali. Ayam-ayam tersebut dikuliti, dipotong-potong, dan dimasak oleh para ibu di dapur umum di belakang balai adat. Berpuluh kilogram nasi dimasak lengkap dengan sambal dan lauk lainnya. Siang hingga malam selama tiga hari itu, ayam adalah lauk favorit utama dan dicari semua orang.
Senin, 20 November 2006
Talang Mamak, Bertahan di Tengah Kegamangan
Neli Triana
Perjalanan Kompas akhir September lalu sembari menjalani puasa pada awal Ramadhan diliputi keberuntungan. Keinginan melihat dari dekat kehidupan suku Talang Mamak tertua di Dusun Durian Cacar ternyata berbuah "bonus". Tepat di pusat hunian Talang Mamak itu tengah dilangsungkan pesta adat besar, perkawinan dua pasang muda-mudi dan sunatan dua anak laki-laki.
Menyaksikan pesta adat salah satu suku terasing di Riau dan masyarakat asli penghuni Hutan Bukit Tigapuluh yang bersebelahan dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh bukan hal mudah. Keterpencilan daerah itu dan tidak adanya sarana komunikasi modern yang sanggup menjangkaunya menyebabkan informasi apa pun dari dusun ini selalu terlambat diterima dunia luar. Tidak tanggung-tanggung, selama tiga hari tiga malam kami pun melahap semua suguhan pesta adat tersebut.
Tubuh berpeluh penuh debu, sementara badan pegal-pegal karena tiga jam duduk di atas sepeda motor melintasi jalan tanah lintas perkebunan dari Pematang Reba menuju Dusun Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, saat itu. Sebelumnya, sekitar empat jam kami harus tepekur di atas travel (sebutan untuk kendaraan wisata) dari Kota Pekanbaru menuju Pematang Reba.
Durian Cacar terletak di tengah kawasan hutan yang hampir seluruhnya telah terbuka. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit begitu nyata merambah dusun ini. Ladang dan kebun karet warga Talang Mamak terkucil di antara perkebunan sawit yang sebagian besar dikuasai warga pendatang, kaum transmigran asal Jawa, Batak, serta sebagian kecil warga Minang.
Keramaian pesta tiba-tiba mengusir keheningan. Dusun kecil itu lebih tampak sebagai pasar dadakan daripada permukiman. Mengelilingi lapangan tepat di depan balai adat yang berupa rumah panggung besar, beberapa pedagang menggelar dagangannya. Mereka menjual aneka makanan ringan dan minuman kaleng. Selain itu, ada pula pedagang keliling penjual aksesori perempuan, mulai dari jepit rambut sampai kosmetik harga murah meriah.
Suasana "pasar malam" itu kontras dengan situasi di dalam balai adat. Rumah panggung ini berupa ruang tanpa sekat berukuran sekitar 15 meter x 15 meter. Seluruh bangunan berasal dari susunan papan kayu dengan sebagian atap telah dilapisi seng. Di sisi kanan, ruang yang ada menyatu dengan dapur besar berukuran 5 meter x 5 meter. Semua kegiatan berlangsung di rumah ini: memasak, makan, tidur, berkumpulnya para tetua adat membicarakan masalah intern suku, bahkan upacara pernikahan dan sunatan.
Kompas dan seorang teman dari Konsorsium Konservasi Indonesia-Warung Informasi (KKI-Warsi) disambut hangat para tetua adat serta masyarakat setempat. Satu per satu kami berkenalan dengan para petinggi itu. Sebagian tampak berpeci dan hampir tidak dapat dibedakan dengan masyarakat desa pada umumnya. Hanya satu dua saja tokoh yang dituakan dan mengenakan "tikuluk", kain yang dibebatkan khas untuk penutup kepala.
Para perempuan muda dan kaum laki-lakinya sudah mengikuti tren mode terkini. Celana jin panjang hingga menyapu tanah dan kaus pas badan. Beberapa ibu tampak masih setia mengenakan kain—yang menyelimuti sebagian tubuhnya—mulai dari pinggang hingga sedikit di bawah lutut.
Kawin campur
Pasangan pengantin pada hari itu adalah Sunardi (19)-Inuh (16) dan Leper (19)-Kurnia (17). Pasangan pertama sama-sama dari suku Talang Mamak, sementara pengantin perempuan pada pasangan kedua berasal dari suku Sunda yang menetap di Dusun Utama, berbatasan dengan Durian Cacar. Kurnia mengikuti orangtuanya sebagai transmigran.
Cinta memang menyatukan segalanya, seperti halnya Leper dan Kurnia. Kurnia pun tak canggung mengikuti adat calon suaminya meski diakui begitu berbeda dengan budayanya.
Yang paling menarik adalah pakaian yang mereka kenakan. Pengantin laki-laki maupun remaja yang hendak disunat mengenakan celana jins atau celana kain dengan kemeja lengan pendek motif suka-suka. Dari sepatu bola yang dipakai atau sandal gunung, jam tangan hingga peci, dipastikan adalah barang yang baru saja dibeli.
Selempang dari tiga helai kain warna-warni menghiasi pundak. Payung warna merah menyala dihiasi pernak-pernik keemasan dibawa laksana tongkat. Peci antara lain dihiasi jepit-jepit mungil aneka warna.
Mempelai perempuan berdandan tak kalah seru. Riasan wajah lengkap, mulai dari pemerah bibir hingga maskara (untuk melentikkan alis mata). Mereka memakai lilitan kain sebagai bawahan penuh dengan jalinan benang emas. Salah satu mempelai perempuan mengenakan penutup kepala mirip pakaian adat Minang, Sumatera Barat. Satu orang lagi menggelung rambutnya dan memasang beberapa hiasan rambut keemasan.
"Mereka adalah raja dan ratu dalam tiga hari ini. Pakaian dan riasan menandakan itu semua. Kini tidak ada lagi kain kulit kayu. Itu hanya untuk orang-orang tua pendahulu kita. Sekarang mereka berdandan seperti masa kini. Hanya saja jalannya prosesi tetap harus sesuai dengan ketentuan adat," kata Laman.
Laman adalah mantan Patih, pemimpin tertinggi yang membawahi masyarakat Talang Mamak di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) hingga ke Dusun Tuo Datai yang berada di dalam kawasan taman nasional.
Menurut Laman, selama tiga hari tiga malam muda-mudi Talang Mamak saling melirik dan mencari pasangan. Bertandang, demikian sebutan untuk usaha pendekatan antara remaja yang sama-sama melajang itu. Ketika menemukan tambatan hati, pihak laki-laki kemudian memberi tanda jadi berupa barang apa saja, antara lain baju.
Dengan berseri-seri, perempuan yang telah mendapatkan tanda jadi melaporkan hal itu kepada ibunya. Keluarga perempuan pun menaksir kesungguhan calon menantunya. Jika sudah merasa yakin, si laki-laki diundang ke rumah perempuan dan boleh bermalam beberapa hari hingga maksimal tiga bulan. Akhirnya tanggal pernikahan ditentukan setelah keluarga laki-laki dan perempuan bermusyawarah.
Perhelatan di hari pertama adalah basajak adat, dilanjutkan dengan bebanggah pada malam kedua, dan hari terakhir, yaitu panggil sorot. Basajak adat merupakan acara kumpul bersama saling tukar nasihat bagi kedua mempelai, dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Selanjutnya, mempersatukan kesepakatan semua sesepuh adat dengan bergiliran meminum air dari satu wadah mirip gentong. Air di dalam wadah tersebut telah dibacakan doa oleh salah satu tetua adat. Menghirupnya dari suluh pohon, menandakan persetujuan semua pihak atas perkawinan tersebut.
Pada hari terakhir acara didahului dengan makan bersama secara adat. Lauk dan nasi dihidangkan. Para laki-laki duduk berkeliling, terpisah dari perempuan. Kemudian pengantin laki-laki bergiliran meminta doa dari masing-masing tetua adat. Setelah restu didapatkan, beriringan dengan pengantin perempuan, mereka pun menghirup suluh meminum air bersama tanda mereka sah menjadi suami-istri.
Seperti yang diungkapkan Laman, selama tiga hari kami juga menyaksikan keramaian, hiruk-pikuk, serta kegembiraan masyarakat Talang Mamak. Di pagi hari arena lapangan depan balai adat sudah riuh dengan kelompok-kelompok masyarakat yang adu ayam.
Taji pasangan berupa bilah pisau diikat kuat di kaki ayam jago masing-masing. Uang taruhan dikumpulkan dan permainan pun dimulai hingga salah satu ayam dipastikan mati penuh luka di sekujur tubuhnya. Kalah atau menang semua bergembira. Si pemenang mendapat uang serta ayamnya bakal berharga tinggi dalam taruhan-taruhan berikutnya.
Yang kalah harus merelakan bangkai ayam jagoannya berakhir di kuali. Ayam-ayam tersebut dikuliti, dipotong-potong, dan dimasak oleh para ibu di dapur umum di belakang balai adat. Berpuluh kilogram nasi dimasak lengkap dengan sambal dan lauk lainnya. Siang hingga malam selama tiga hari itu, ayam adalah lauk favorit utama dan dicari semua orang.
Komentar